Minggu, 23 Juni 2013

Cerpen: HFA

Diposting oleh Happy di 15.51
Cerpen ini dibuat sekitar seminggu, dengan niat awal untuk mengikuti lomba cerpen bertajuk #KisahSangMantan  *walaupun saya nggak punya mantan* yang diadakan oleh penerbit mayor dari Jogja,@divapress01. Dengan syarat cerpen harus bercerita tentang mantan kekasih, boleh kisah nyata, boleh fiksi.
Dengan semangat berapi-api, saya email ke Diva, dan bodohnya saya tidak sadar *tepatnya tidak tahu* kalau attach email saya ini tidak terbaca dan Diva meminta saya untuk mengirim ulang. Saya buka email balasan itu pada saat DeadLine lomba sudah habis! :(
Selang beberapa waktu, dibuka pendaftaran #KampusFiksi dari Diva *pelatihan penulisan fiksi yang diadakan oleh Diva untuk calon penulis seluruh Indonesia,  event rutin dengan 1 angkatan per bulan @30 peserta, menginap 2 hari gratis*. Untuk dapat mengikuti acara ini harus mengirimkan cerpennya, dan yang cerpennya lolos seleksi lah yang berhak ikut.
Dan the result is, alhamdulillah cerpen saya lolos, dan saya menjadi peserta #KampusFiksi angkatan 5, atau bulan Oktober besok :D
Berikut ini adalah cerpennya.



HFA

15 Januari 2013, 21:49 WIB
I'll be the water you need in the desert land, just to let you know you'll always have my hand. I'll be the woman you need to be a better man, so you'll always know...
That’s How Strong My Love Is milik Alicia Keys mengalun lembut dari headset yang memeluk kedua daun telingaku. Jemariku yang tadinya menari lincah di atas tuts keyboard terhenti. Aku sangat suka lagu ini. Lagu yang ku kenal saat aku masih berpacaran dengan Aldi, cinta pertamaku.
Aku ingin sekali menjadi wanita dalam lirik lagu itu. Aku ingin menjadi wanita yang dia butuhkan untuk menjadi lelaki yang lebih baik. Tapi nyatanya hubungan kami berakhir begitu saja tepat di tiga tahun anniversary kami.
Ku hentikan pekerjaanku – proposal bab lima yang sebenarnya sudah harus selesai esok lusa, untuk dikoreksi dosen pembimbingku.
“Al, apa kabarmu? Hampir setahun kita tidak bertemu,” ucapku lirih.
Kalau dihitung-hitung, bulan depan adalah anniversary ke empat kami – sendainya hingga detik ini kami masih bersama. Bibirku mengulum senyum getir.
***
15 Februari 2012, 9:35 WIB
Aku memakai wedges dengan tergesa, lalu menyambar tas vintage slempangku yang mungil. Sebelum berangkat, kupatut sekali lagi penampilanku di depan cermin. Rok rampel tepat di atas lutut berwarna merah hati dipadu kemeja putih tanpa lengan bermotif polkadot lucu. Rambut panjangku ku ikat santai membentuk cepol – cukup tinggi hingga memperlihatkan batang leherku yang putih dan jenjang. Aku mengulas senyum.
Dua hari yang lalu Aldi meneleponku, memintaku datang ke cafe favorit kami, tepat di anniversary ketiga kami – hari ini. Sepertinya dia ingin membuat kejutan. Biasanya, dia selalu menjemputku. Tapi tidak kali ini.
Di perjalanan, aku bertanya-tanya dengan kejutan Al kali ini. Mengingat bahwa hampir seminggu ini kami bertengkar cukup hebat – entah pertengkaran kami yang ke berapa selama tiga tahun ini, agak aneh rasanya jika tiba-tiba dia mengundangku bertemu. Tapi, syukurlah jika memang perasaannya sudah baikan.
Setelah membayar taksi, aku segera memasuki cafe, mencari-cari sosok Al. Ku lihat dia sudah duduk di meja di salah satu sudut cafe – sudut favorit kami.
Tak jauh dari mejanya, aku menyunggingkan senyumku. “Sudah dari tadi? Maaf membuatmu menunggu,” ucapku sambil menarik kursi di hadapannya.
Al hanya tersenyum. Beberapa detik kami berdua sama-sama membisu.
Happy third anniversary, Mon,” ucapnya akhirnya.
Lagi-lagi aku menyunggingkan senyumku.
“Ada yang ingin aku katakan di hari yang bersejarah ini...”
“Hari yang spesial Al, lebih tepatnya,” sahutku sambil nyengir.
Al hanya diam. Aku jadi menerka-nerka. Ada apa sih dengan Al? Apa dia masih akan membahas pertengkaran kami seminggu ini? Batinku gusar.
“Mon... Bagaimana jika kita cukupkan tiga tahun saja,” ucapnya tenang.
“M-maksudmu?”
“Hubungan kita. Aku capek. Terlalu sering kita bertengkar karena hal-hal sepele. Kita berbeda. Sudut pandang kita, cara kita menatap hidup ini.”
“Aku tak mengerti,” aku menanggapi. Nadaku meninggi setengah oktaf.
“Kita nggak pernah sejalan. Dan kita sama-sama menyadari itu. Aku terlalu egois – seperti katamu di tiap pertengkaran kita. Dan kamu terlalu cengeng. Ratap tangismu di setiap pertengkaran kita membuatku frustasi, kalau kau tahu.”
“Tapi itu semata karena aku tak ingin kehilanganmu, Al. Kau takkan pernah tahu betapa menyakitkannya jika setiap bertengkar selalu diancam dengan kata-kata putus!” ucapku setengah menjerit. Kurasakan mataku mulai memanas.
“Karena itulah. Aku tak ingin menyakitimu lagi.. Terimakasih untuk  tiga tahun ini,” ucap Al sambil bangkit dari kursinya, lalu meninggalkanku begitu saja.
Aku membeku di kursiku, mendengar apa yang baru saja diucapkan Al.
“Apa-apaan semua ini?!” desisku setengah tak percaya.
***
Dan itulah yang terjadi hampir setahun yang lalu. Kami putus begitu saja. Aku masih tak mengerti mengapa Al tega melakukan semua ini padaku. Aku memang cengeng, ku akui itu. Tapi, aku kan hanya tak ingin kehilangan dirinya. Dan untuk keegoisan Al, itulah kenyataannya. Dia terlalu mudah menyulut api pertengkaran hanya karena hal-hal sepele. Dan itulah sebabnya mengapa aku menangis. Aku tersiksa dengan gelagatnya yang mudah tersulut emosi itu. Tiap aku mengingatkannya, Al semakin larut saja dengan emosinya. Dan puncaknya, dia mengeluarkan kata-kata pamungkasnya: putus. Lantas harus bagaimanakah aku ini? Hanya bisa menangis. Aku tak sanggup jika harus berbalik memarahinya habis-habisan. Aku terlalu mencintainya, terlalu takut kehilangannya.
Aku baru akan melanjutkan proposalku ketika tiba-tiba ada SMS dari nomor tak dikenal masuk ke inbox handphone-ku.
“Memang kau yang benar aku yang salah.” Begitu kata pesan singkat itu.
Dan begitulah aku menjalani hari-hariku menjelang tanggal 15 Februari di 2013 ini. Begitu banyak pesan singkat dari nomor tak ku kenal.
“Aku memang egois. Tapi kamu memang cengeng :)”
“Bodohnya aku yang dahulu selalu meributkan masalah ini itu denganmu. Benar katamu. Aku memang childish :D Tapi itu dulu :p”
Siapa pengirim pesan-pesan misterius itu? Al kah? Tapi, mungkinkah? Dan ternyata memang tidak ada yang tidak mungkin. Karena baru saja nomor itu kembali mengirim pesan singkat untukku.
“Mon, maukah kau menemuiku yang dahulu telah menyakitimu ini, esok tanggal 15 Februari tepat pukul 10 pagi di cafe favorit kita dahulu?”
Dan itu berarti lima hari lagi. Al, kejutan apalagi yang akan kau berikan?
***
Kucoba untuk merampungkan skripsiku yang hampir selesai, sembari menunggu hari dimana kami akan bertemu lagi setelah hampir satu tahun tak bertemu. Namun, pikiran dan hatiku kini seolah teracuni. Pesan-pesannya membuat kepalaku pening.
“Kau telah menyadarkanku, kau membuatku menemukan diriku yang sama sekali tak dewasa. Dan sekarang, aku tengah berusaha mengubahnya.”
“Darimu aku belajar, wanita yang rapuh namun tegar sepertimu, tak sepantasnya mendapati hujanan emosi tak terkendali.”
“Hanya ingin kau tahu, aku ingin memperbaiki kesalahan yang dulu sempat kubuat. Dan menggantinya dengan kisah lain yang tak kalah indah :)”
Lihatlah. Pesan-pesannya selalu manis dan bersahabat. Jika kami bersama-sama kembali, mungkinkah?
I used to feel kinda lonely, cause the world it can be so fake. All that matters I'm telling you, is you and me only. And the fortress from love we'd make..
***
15 Februari 2013, 10:07 WIB
Sepuluh menit sudah aku duduk di sudut cafe ini, namun Al belum juga tampak. Hampir saja aku memanggil pramusaji, ketika kulihat Al melangkah.
“Sudah dari tadi? Maaf membuatmu menunggu,” ucap Al sambil menarik kursi di hadapanku, lalu duduk. Senyum manisnya mengembang.
“Hey, itu kata-kataku setahun yang lalu,” sahutku balas tersenyum.
Al terbahak. Aku kembali tersenyum, sambil mengamati sosok di hadapku saat ini. Dia masih seperti dahulu. Tetap tampan, manis, cool dan cuek.
Well, apa kabarmu, mantan kekasih?”
Kini, aku yang terbahak. “Julukan yang manis. Aku baik Al, kamu?”
“Aku juga.”
Sesaat kami berdua sama-sama diam. Tampak Al memanggil pramusaji, memesan dua gelas minuman untuk kami.
“Mon, ada yang ingin kuceritakan,” ucap Al memainkan kunci mobilnya.
Lagi-lagi kami sama-sama diam. Beberapa menit berlalu begitu saja. Sesaat Al tampak menarik napas. Saat minuman datang, dia memilih untuk menyesapnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan.
“Setelah kita berpisah, aku menyesal. Aku terlalu egois, kekanakan dan terlalu tak peduli. Sikapmu yang begitu tegar, tetap bertahan meski aku selalu mengancam dengan kata-kata putus menyadarkanku. Kau wanita yang kuat.”
Aku hanya diam, menunggu lanjutan ceritanya sambil menerka-nerka.
“Tak lama setelah kita berpisah, aku mencari penggantimu. Sekadar ingin membuktikan, apakah semua yang kau katakan itu benar adanya, bahwa diriku ini egois, dan semua julukan yang kau berikan padaku itu,” ucapnya sambil tertawa.
“Ternyata dia, kekasih baruku, membuktikan hal yang sama. Tahukah kau? Dia sungguh berbeda denganmu. Kau telah menyadarkanku, tapi dia berhasil mengubahku. Dia tak cengeng sepertimu, Mon,” ucapnya sambil lagi-lagi tertawa.
“Dia teramat keras. Dia berhasil mengikis sikap egois dan kekanakanku. Dan aku dibuatnya jatuh cinta. Apa kau tak melihat Mon, aku sudah jauh lebih dewasa saat ini?” ucapnya sambil tertawa terbahak, mengangkat sebelah alisnya.
Dan aku pun balas terbahak. Ya. Kau terlihat jauh lebih matang, Al. Dan kau sempat membuatku salah paham. Nyatanya saat ini kau sudah punya kekasih, dan bahkan teramat mencintainya. Batinku murung.
“Lalu, apa tujuanmu mengundangku kemari, Al?” tanyaku.
Dia mengambil sesuatu dari tas. Selembar kertas berwarna merah hati.
“Aku ingin kau jadi orang pertama yang menerima ini,” Al mengangsurkan kertas berbungkus plastik bening itu kepadaku.
Kubaca tulisan yang tercetak di atasnya. The Engagement. “Wow. Aku tak menyangka akan secepat ini kau mengambil langkah. Ngomong-ngomong, siapa wanita beruntung itu?” Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak.
“Nathania Geovany,” aku mengeja nama yang tercetak di kertas itu. “Astaga, aku sungguh tak percaya. Selamat, Al,” ucapku.
“Terimakasih. Aku juga ingin mengucapkan selamat. Untuk kita. HFA.”
“HFA?” aku tak mengerti.
Happy Failed Anniversary,” jawabnya, lalu tertawa.
Sesaat aku tertegun. “Ya ya, Happy Failed Anniversary untuk kita, mantan kekasih,” kataku mengulang jawabannya sambil mengangkat sebelah alis.
Lagi-lagi Al terbahak.
Well, kalau sudah tak ada lagi yang dibicarakan, aku pamit dulu, Al. Aku masih harus menemui dosen pembimbingku siang ini. Sampai jumpa di pertunanganmu,” ucapku sambil memasukkan undangan darinya ke dalam tasku.
Al hanya mengangguk dan tersenyum. Aku balas senyumnya, lalu beranjak. Ku biarkan minumanku tetap utuh tak tersentuh. Saat aku mulai berpaling dan melangkah memunggunginya, tiba-tiba saja mataku terasa panas.
Through the shake of an earthquake, I will never fall. That's how strong my love is...
Kau berhasil menjadi lelaki yang lebih baik, Al. Namun sayang, bukan diriku wanita yang mampu mengubahmu itu.
Kau memang telah menyadarkanku, tapi dia berhasil mengubahku. Saat aku memejamkan mata, kalimat Al bergema di ruang hatiku.
***

4 komentar:

Web Developers Delhi on 9 Januari 2015 pukul 18.12 mengatakan... [Balas]

I am extremely impressed along with your writing abilities, Thanks for this great share.

Web Developers Delhi on 9 Januari 2015 pukul 18.13 mengatakan... [Balas]

Awesome work.Just wanted to drop a comment and say I am new to your blog and really like what I am reading.Thanks for the share

Mobile App Developers on 23 Oktober 2015 pukul 18.07 mengatakan... [Balas]

Awesome work.Just wanted to drop a comment and say I am new to your blog and really like what I am reading.Thanks for the share

Learn Digital Marketing on 21 September 2017 pukul 18.15 mengatakan... [Balas]

Great article, Thanks for your great information, the content is quiet interesting. I will be waiting for your next post.

Posting Komentar

Kolom coret-coret ^_^

 

H A P P Y Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template and web hosting Graphic from Enakei