Kamis, 28 November 2013

Cerpen: Positif

Diposting oleh Happy di 21.11 1 komentar
Cerpen ini dibuat pada hari sabtu tanggal 23 November 2013 puku 13.00 sampai 16.00 di gedung asrama #KampusFiksi DIVAPress. Yup, cerpen ini adalah tantangan yang diberi oleh mbak-mbak editor DIVA, untuk mengukur sejauh mana kemampuan kami setelah seharian mendapatkan cekokan materi yang begitu banyak. Dan aku kedapatan tema: Aku memilih diam.
Jadi, inilah cerpenku. Dan, o ya. Sekadar info aja, nih, cerpen ini adalah salah satu dari dua cerpen yang terpilih, yang dijadikan contoh oleh DIVA kepada 30 peserta yang lain, lho! :D Ini contoh hancurnya, mungkin--mengingat Pak Edi sempat bilang, bahwa untuk #KampusFiksi angakatan lima [angkatan kami], cerpen kami sungguh mengecewakan. Aaaaa tidaakkk >,<
Cerpen ini tadinya aku beri judul Kurnia Ibu. Tapi karena kata Pak Edi judulnya kayak tulisan di badan truk [aku baru sadar ._.] aku ganti aja deh ya. Tak ada satu kata pun yang aku tambah, kecuali judul dan pembenaran beberapa tanda baca. Selamat membaca.

Positif
“Nia pergi dulu, Bu,” pamit Nia kepada ibunya yang tengah menyetrika di ruang berukuran dua kali tiga meter itu.
“Mau ke mana kamu?! Setiap malam selalu keluyuran! Ibu nguliahin kamu biar kamu pinter, terus kerja, bisa ngasih duit buat Ibu! Bukan malah keluyuran tiap malam dan malu-maluin Ibu karena selalu jadi omongan tetangga seperti ini! Jangan meniru mbakyu-mu, Nia! Ibu capek-capek nguliahin, tapi apa yang dia kasih?!” gelegar ibunya sambil mengacung-acungkan setrika ke udara.
Nia melesat tanpa mempedulikan kalimat sang ibu yang belum selesai. Nia sudah bosan. Bosan dengan ibunya yang selalu memaki-maki Sinta―kakak perempuannya, karena setelah kuliah bukannya bekerja namun malah memilih untuk langsung menikah. Bosan dengan ibunya yang selalu mencerocos semau pikirnya, bahwa pasti menantunya mengidap penyakit tertentu karena sampai tiga tahun usia pernikahan kakaknya tak jua mengaruniainya seorang cucu.
“Tapi Ibu juga pengin nimang cucu kayak ibu-ibu tetangga yang lain,” begitu kilah ibunya tiap kali Nia memprotes ocehan prasangka ibunya yang berulang.
Nia benar-benar capek.
Malam itu pukul delapan. Begitu Nia membuka pintu depan, cowok berkendara Suzuki Satria  lawas sudah menunggu di depan pagar rumah. Setelah Nia menghempaskan pantatnya ke sadel belakang dan membenarkan rok hitamnya yang hanya lima senti di atas lutut, dengan sekali hentak di stang gas, motor dua tak itu meluncur membelah malam, meninggalkan deru berisik yang menyayat  telinga serta kepulan asap putih yang memedihkan mata.
***
 Tempat itu tampak sepi dan lengang. Lampu-lampu dengan cahaya menyilaukan mata tetap berpijar di langit-langit, meski hanya beberapa gelintir manusia yang ada di bawahnya.
Nia menguap sebentar, sambil membenahi benda-benda yang berantakan di sekitarnya. Tak jauh darinya, tampak lelaki yang setiap malam menjemputnya melakukan hal yang sama.
“Kamu kelihatan capek banget, Nia,” ucap cowok itu sambil mengusap lembut rambut Nia.
Nia hanya mengangguk lemah sambil menempelkan telapak tangannya ke mulut, menguap.
“Pelanggan hari ini lumayan banyak, ya?”
“Iya. Biasa, malam minggu,” tanggap Nia.
“Mau pulang sekarang? Lagian, setelah bayaran jam satu tadi kita sudah boleh pulang, kan.”
“Sekarang jam berapa?” Nia balik melempar tanya.
“Jam dua, lebih sedikit.”
Menit berikutnya, Nia sudah duduk di sadel belakang motor cowok itu.
“Berhenti,” ujar Nia setelah hampir lima belas menit angin malam membelai kaki jenjangnya yang berbalut stoking.
“Tapi rumahmu masih dua puluh meter lagi. Kamu capek banget, ya, sampai-sampai meminta berhenti di depan rumah kakakmu?” tanya lelaki itu resah.
“Tadi mbak Sinta menelepon. Ingin menitipkan sesuatu untuk  Ibu. Walaupun dekat, tapi... Kamu tahu, kan, bagaimana ibu,” terang Nia.
Cowok itu menurut dan berhenti. Membiarkan Nia mengetuk pintu rumah kecil tak berpagar itu. Semenit selanjutnya, tampak seorang wanita dengan rambut panjang tergerai berantakan membuka pintu. Beberapa detik berikutnya, pintu kembali tertutup dan Nia melangkah menjauh.
“Sudah?”
Nia mengangguk.
“Aku tak melihat kamu membawa sesuatu,” ujar cowok itu.
Nia memilih tak menjawab. Hingga cowok itu menurunkannya di depan pagar rumah dan melesat meninggalkan deru berisik dan kepulan asap.
***
“Nia! Bangun kamu!” ibu berteriak sambil menggoyang-goyangkan tubuh Nia yang masih berbalut rok pendek dan stoking hitam.
“Nia!! Ada yang harus kau jelaskan pada ibu!” bentak ibunya lebih kencang.
Nia melenguh pelan, sebelum akhirnya menggeliat dan duduk di kasurnya.
“Ada apa, Bu?” tanyanya dengan suara pelan.
Nia menatap ke bingkai jendela yang  sudah terbuka. Sinar matahari yang panas menelusup di balik tirai. Nia mengira-ngira, pastilah sekarang sudah lebih dari pukul delapan.
“Apa yang ada di tasmu?! Apa maksudnya?! Kamu harus menjelaskannya, Nia!”
Nia meraih tas yang semalam dibawanya, dan menengok isinya. Kosong.
“Apa maksud semua ini, Nia?! Jadi ini kegiatanmu selama ini?! Kamu menjual dirimu, hah?!” ibu berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan amplop coklat yang tebal dan...
“Kamu hamil, hah!?” sebuah testpack meluncur dari tangan sang ibu, berpindah ke pangkuan Nia.
Sambil mendengus, Nia menyahut, “Nia masih capek, Bu. Kalau Ibu mau membahas ini, tunggu nanti malam setelah Nia pulang kuliah.”
“Kamu bilang tunggu nanti malam?! Kamu mau Ibu menceritakan kepada tetangga dahulu?! Begitu?!”
Nia meraih rambutnya yang tergerai dengan kedua tangannya. Mengangkatnya tinggi, memperlihatkan batang lehernya yang jenjang, sebelum akhirnya mengikat rambut itu. Dengan tak acuh Nia melangkah ke kamar mandi.
Usai Nia membersihkan diri dan mengganti kostumnya dengan kaos pendek dan celana jins, ibunya masih berada di kamarnya. Kali ini sambil terduduk. Dengan bahu yang berguncang naik turun perlahan. Juga air yang meluncur tanpa malu dari kelopak matanya.
Nia tak peduli. Setelah menyapukan bedak dan segaris lipgloss, Nia meraih tasnya dan melangkah.
“Nia kuliah dulu.”
Sang ibu tak menyahut, apalagi mengikuti langkah Nia dan mengantarnya sampai depan pintu. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya.
Sepuluh menit berikutnya, wanita itu masih sibuk meratap. Sampai akhirnya suara ketukan di pintu terdengar.
“Ibu, apa kabar?” seorang wanita berambut panjang menyapa tulus.
Wanita hampir setengah abad itu hanya menatap nanar sosok di ambang pintu itu.
“Jadi, apakah Kurnia sudah cerita, Bu? Apa Ibu senang?” tanya wanita itu lagi.
Ibu masih membeku dengan air mata yang mengalir.
“Ibu akan punya cucu. Ibu pasti senang, kan? Tadi pagi buta Nia mampir ke rumah, kutitipi sesuatu untuk Ibu. Kami menduga pasti Ibu akan terkejut. Dan benar saja, Ibu saat ini menangis. Itu air mata bahagia, kan?”
Sunyi. Senyap. Hanya suara helaan napas sang ibu yang berat terdengar.
“Ibu jangan membenci kami lagi. Sekarang aku hamil, Bu. Tuduhan ibu pada kami selama ini sama sekali tidak benar. Kami akan punya anak.”
Suara wanita berambut panjang itu kini bergetar. Pun jua bibirnya. Dari pelupuk matanya, membanjir air mata.
“Kurnia adik yang hebat. Bahkan dia mampu membagi waktunya untuk kuliah dan bekerja di minimarket di pinggir kota. Itu, kan, yang Ibu mau? Bekerja? Dia berbeda dariku, Bu. Ibu jangan pernah membentak dan memarahinya lagi. Jangan, Bu. Dia tak sepertiku,” suara wanita itu berubah menjadi rintihan.
Hening. Bahkan tiga menit kemudian, tak ada yang terucap dari bibir dua wanita itu. Hanya air mata serta tangis sesenggukan yang bersahutan.

***

Tamaaaat! :D
Yah, baru bisa sampai sebatas itu, sih :3 Kritik saran boleh lhoo :)

Minggu, 23 Juni 2013

Cerpen: HFA

Diposting oleh Happy di 15.51 4 komentar
Cerpen ini dibuat sekitar seminggu, dengan niat awal untuk mengikuti lomba cerpen bertajuk #KisahSangMantan  *walaupun saya nggak punya mantan* yang diadakan oleh penerbit mayor dari Jogja,@divapress01. Dengan syarat cerpen harus bercerita tentang mantan kekasih, boleh kisah nyata, boleh fiksi.
Dengan semangat berapi-api, saya email ke Diva, dan bodohnya saya tidak sadar *tepatnya tidak tahu* kalau attach email saya ini tidak terbaca dan Diva meminta saya untuk mengirim ulang. Saya buka email balasan itu pada saat DeadLine lomba sudah habis! :(
Selang beberapa waktu, dibuka pendaftaran #KampusFiksi dari Diva *pelatihan penulisan fiksi yang diadakan oleh Diva untuk calon penulis seluruh Indonesia,  event rutin dengan 1 angkatan per bulan @30 peserta, menginap 2 hari gratis*. Untuk dapat mengikuti acara ini harus mengirimkan cerpennya, dan yang cerpennya lolos seleksi lah yang berhak ikut.
Dan the result is, alhamdulillah cerpen saya lolos, dan saya menjadi peserta #KampusFiksi angkatan 5, atau bulan Oktober besok :D
Berikut ini adalah cerpennya.



HFA

15 Januari 2013, 21:49 WIB
I'll be the water you need in the desert land, just to let you know you'll always have my hand. I'll be the woman you need to be a better man, so you'll always know...
That’s How Strong My Love Is milik Alicia Keys mengalun lembut dari headset yang memeluk kedua daun telingaku. Jemariku yang tadinya menari lincah di atas tuts keyboard terhenti. Aku sangat suka lagu ini. Lagu yang ku kenal saat aku masih berpacaran dengan Aldi, cinta pertamaku.
Aku ingin sekali menjadi wanita dalam lirik lagu itu. Aku ingin menjadi wanita yang dia butuhkan untuk menjadi lelaki yang lebih baik. Tapi nyatanya hubungan kami berakhir begitu saja tepat di tiga tahun anniversary kami.
Ku hentikan pekerjaanku – proposal bab lima yang sebenarnya sudah harus selesai esok lusa, untuk dikoreksi dosen pembimbingku.
“Al, apa kabarmu? Hampir setahun kita tidak bertemu,” ucapku lirih.
Kalau dihitung-hitung, bulan depan adalah anniversary ke empat kami – sendainya hingga detik ini kami masih bersama. Bibirku mengulum senyum getir.
***
15 Februari 2012, 9:35 WIB
Aku memakai wedges dengan tergesa, lalu menyambar tas vintage slempangku yang mungil. Sebelum berangkat, kupatut sekali lagi penampilanku di depan cermin. Rok rampel tepat di atas lutut berwarna merah hati dipadu kemeja putih tanpa lengan bermotif polkadot lucu. Rambut panjangku ku ikat santai membentuk cepol – cukup tinggi hingga memperlihatkan batang leherku yang putih dan jenjang. Aku mengulas senyum.
Dua hari yang lalu Aldi meneleponku, memintaku datang ke cafe favorit kami, tepat di anniversary ketiga kami – hari ini. Sepertinya dia ingin membuat kejutan. Biasanya, dia selalu menjemputku. Tapi tidak kali ini.
Di perjalanan, aku bertanya-tanya dengan kejutan Al kali ini. Mengingat bahwa hampir seminggu ini kami bertengkar cukup hebat – entah pertengkaran kami yang ke berapa selama tiga tahun ini, agak aneh rasanya jika tiba-tiba dia mengundangku bertemu. Tapi, syukurlah jika memang perasaannya sudah baikan.
Setelah membayar taksi, aku segera memasuki cafe, mencari-cari sosok Al. Ku lihat dia sudah duduk di meja di salah satu sudut cafe – sudut favorit kami.
Tak jauh dari mejanya, aku menyunggingkan senyumku. “Sudah dari tadi? Maaf membuatmu menunggu,” ucapku sambil menarik kursi di hadapannya.
Al hanya tersenyum. Beberapa detik kami berdua sama-sama membisu.
Happy third anniversary, Mon,” ucapnya akhirnya.
Lagi-lagi aku menyunggingkan senyumku.
“Ada yang ingin aku katakan di hari yang bersejarah ini...”
“Hari yang spesial Al, lebih tepatnya,” sahutku sambil nyengir.
Al hanya diam. Aku jadi menerka-nerka. Ada apa sih dengan Al? Apa dia masih akan membahas pertengkaran kami seminggu ini? Batinku gusar.
“Mon... Bagaimana jika kita cukupkan tiga tahun saja,” ucapnya tenang.
“M-maksudmu?”
“Hubungan kita. Aku capek. Terlalu sering kita bertengkar karena hal-hal sepele. Kita berbeda. Sudut pandang kita, cara kita menatap hidup ini.”
“Aku tak mengerti,” aku menanggapi. Nadaku meninggi setengah oktaf.
“Kita nggak pernah sejalan. Dan kita sama-sama menyadari itu. Aku terlalu egois – seperti katamu di tiap pertengkaran kita. Dan kamu terlalu cengeng. Ratap tangismu di setiap pertengkaran kita membuatku frustasi, kalau kau tahu.”
“Tapi itu semata karena aku tak ingin kehilanganmu, Al. Kau takkan pernah tahu betapa menyakitkannya jika setiap bertengkar selalu diancam dengan kata-kata putus!” ucapku setengah menjerit. Kurasakan mataku mulai memanas.
“Karena itulah. Aku tak ingin menyakitimu lagi.. Terimakasih untuk  tiga tahun ini,” ucap Al sambil bangkit dari kursinya, lalu meninggalkanku begitu saja.
Aku membeku di kursiku, mendengar apa yang baru saja diucapkan Al.
“Apa-apaan semua ini?!” desisku setengah tak percaya.
***
Dan itulah yang terjadi hampir setahun yang lalu. Kami putus begitu saja. Aku masih tak mengerti mengapa Al tega melakukan semua ini padaku. Aku memang cengeng, ku akui itu. Tapi, aku kan hanya tak ingin kehilangan dirinya. Dan untuk keegoisan Al, itulah kenyataannya. Dia terlalu mudah menyulut api pertengkaran hanya karena hal-hal sepele. Dan itulah sebabnya mengapa aku menangis. Aku tersiksa dengan gelagatnya yang mudah tersulut emosi itu. Tiap aku mengingatkannya, Al semakin larut saja dengan emosinya. Dan puncaknya, dia mengeluarkan kata-kata pamungkasnya: putus. Lantas harus bagaimanakah aku ini? Hanya bisa menangis. Aku tak sanggup jika harus berbalik memarahinya habis-habisan. Aku terlalu mencintainya, terlalu takut kehilangannya.
Aku baru akan melanjutkan proposalku ketika tiba-tiba ada SMS dari nomor tak dikenal masuk ke inbox handphone-ku.
“Memang kau yang benar aku yang salah.” Begitu kata pesan singkat itu.
Dan begitulah aku menjalani hari-hariku menjelang tanggal 15 Februari di 2013 ini. Begitu banyak pesan singkat dari nomor tak ku kenal.
“Aku memang egois. Tapi kamu memang cengeng :)”
“Bodohnya aku yang dahulu selalu meributkan masalah ini itu denganmu. Benar katamu. Aku memang childish :D Tapi itu dulu :p”
Siapa pengirim pesan-pesan misterius itu? Al kah? Tapi, mungkinkah? Dan ternyata memang tidak ada yang tidak mungkin. Karena baru saja nomor itu kembali mengirim pesan singkat untukku.
“Mon, maukah kau menemuiku yang dahulu telah menyakitimu ini, esok tanggal 15 Februari tepat pukul 10 pagi di cafe favorit kita dahulu?”
Dan itu berarti lima hari lagi. Al, kejutan apalagi yang akan kau berikan?
***
Kucoba untuk merampungkan skripsiku yang hampir selesai, sembari menunggu hari dimana kami akan bertemu lagi setelah hampir satu tahun tak bertemu. Namun, pikiran dan hatiku kini seolah teracuni. Pesan-pesannya membuat kepalaku pening.
“Kau telah menyadarkanku, kau membuatku menemukan diriku yang sama sekali tak dewasa. Dan sekarang, aku tengah berusaha mengubahnya.”
“Darimu aku belajar, wanita yang rapuh namun tegar sepertimu, tak sepantasnya mendapati hujanan emosi tak terkendali.”
“Hanya ingin kau tahu, aku ingin memperbaiki kesalahan yang dulu sempat kubuat. Dan menggantinya dengan kisah lain yang tak kalah indah :)”
Lihatlah. Pesan-pesannya selalu manis dan bersahabat. Jika kami bersama-sama kembali, mungkinkah?
I used to feel kinda lonely, cause the world it can be so fake. All that matters I'm telling you, is you and me only. And the fortress from love we'd make..
***
15 Februari 2013, 10:07 WIB
Sepuluh menit sudah aku duduk di sudut cafe ini, namun Al belum juga tampak. Hampir saja aku memanggil pramusaji, ketika kulihat Al melangkah.
“Sudah dari tadi? Maaf membuatmu menunggu,” ucap Al sambil menarik kursi di hadapanku, lalu duduk. Senyum manisnya mengembang.
“Hey, itu kata-kataku setahun yang lalu,” sahutku balas tersenyum.
Al terbahak. Aku kembali tersenyum, sambil mengamati sosok di hadapku saat ini. Dia masih seperti dahulu. Tetap tampan, manis, cool dan cuek.
Well, apa kabarmu, mantan kekasih?”
Kini, aku yang terbahak. “Julukan yang manis. Aku baik Al, kamu?”
“Aku juga.”
Sesaat kami berdua sama-sama diam. Tampak Al memanggil pramusaji, memesan dua gelas minuman untuk kami.
“Mon, ada yang ingin kuceritakan,” ucap Al memainkan kunci mobilnya.
Lagi-lagi kami sama-sama diam. Beberapa menit berlalu begitu saja. Sesaat Al tampak menarik napas. Saat minuman datang, dia memilih untuk menyesapnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan.
“Setelah kita berpisah, aku menyesal. Aku terlalu egois, kekanakan dan terlalu tak peduli. Sikapmu yang begitu tegar, tetap bertahan meski aku selalu mengancam dengan kata-kata putus menyadarkanku. Kau wanita yang kuat.”
Aku hanya diam, menunggu lanjutan ceritanya sambil menerka-nerka.
“Tak lama setelah kita berpisah, aku mencari penggantimu. Sekadar ingin membuktikan, apakah semua yang kau katakan itu benar adanya, bahwa diriku ini egois, dan semua julukan yang kau berikan padaku itu,” ucapnya sambil tertawa.
“Ternyata dia, kekasih baruku, membuktikan hal yang sama. Tahukah kau? Dia sungguh berbeda denganmu. Kau telah menyadarkanku, tapi dia berhasil mengubahku. Dia tak cengeng sepertimu, Mon,” ucapnya sambil lagi-lagi tertawa.
“Dia teramat keras. Dia berhasil mengikis sikap egois dan kekanakanku. Dan aku dibuatnya jatuh cinta. Apa kau tak melihat Mon, aku sudah jauh lebih dewasa saat ini?” ucapnya sambil tertawa terbahak, mengangkat sebelah alisnya.
Dan aku pun balas terbahak. Ya. Kau terlihat jauh lebih matang, Al. Dan kau sempat membuatku salah paham. Nyatanya saat ini kau sudah punya kekasih, dan bahkan teramat mencintainya. Batinku murung.
“Lalu, apa tujuanmu mengundangku kemari, Al?” tanyaku.
Dia mengambil sesuatu dari tas. Selembar kertas berwarna merah hati.
“Aku ingin kau jadi orang pertama yang menerima ini,” Al mengangsurkan kertas berbungkus plastik bening itu kepadaku.
Kubaca tulisan yang tercetak di atasnya. The Engagement. “Wow. Aku tak menyangka akan secepat ini kau mengambil langkah. Ngomong-ngomong, siapa wanita beruntung itu?” Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak.
“Nathania Geovany,” aku mengeja nama yang tercetak di kertas itu. “Astaga, aku sungguh tak percaya. Selamat, Al,” ucapku.
“Terimakasih. Aku juga ingin mengucapkan selamat. Untuk kita. HFA.”
“HFA?” aku tak mengerti.
Happy Failed Anniversary,” jawabnya, lalu tertawa.
Sesaat aku tertegun. “Ya ya, Happy Failed Anniversary untuk kita, mantan kekasih,” kataku mengulang jawabannya sambil mengangkat sebelah alis.
Lagi-lagi Al terbahak.
Well, kalau sudah tak ada lagi yang dibicarakan, aku pamit dulu, Al. Aku masih harus menemui dosen pembimbingku siang ini. Sampai jumpa di pertunanganmu,” ucapku sambil memasukkan undangan darinya ke dalam tasku.
Al hanya mengangguk dan tersenyum. Aku balas senyumnya, lalu beranjak. Ku biarkan minumanku tetap utuh tak tersentuh. Saat aku mulai berpaling dan melangkah memunggunginya, tiba-tiba saja mataku terasa panas.
Through the shake of an earthquake, I will never fall. That's how strong my love is...
Kau berhasil menjadi lelaki yang lebih baik, Al. Namun sayang, bukan diriku wanita yang mampu mengubahmu itu.
Kau memang telah menyadarkanku, tapi dia berhasil mengubahku. Saat aku memejamkan mata, kalimat Al bergema di ruang hatiku.
***

Cerpen: HelloPig Berbagi Cinta

Diposting oleh Happy di 15.38 3 komentar

Cerpen ini dibuat tiga jam saja - karena dikejar deadline, dengan niat untuk mengikuti lomba cerpen bertajuk #K-PopKoplak yang diadakan oleh penerbit mayor dari Jogja, @divapress01. Dengan syarat cerpen harus berlatar dan ber-taste Korea, harus koplak bikin ngakak, aku coba nekat ngirim cerpen ini walaupun belum pernah terpikirkan akan nyemplung ke genre komedi dan belum pernah bikin cerita komedi sebelumnya. Dan the result is, alhamdulillah tidak menang :D Daripada teronggok nganggur dan akhirnya usang dan berdebu di sudut hardisk, dipos disini gapapa kali ya.

HelloPig Berbagi Cinta

“Cub cub biii daaa cubi di dadaa! Cubida cubida syalalalaaaa!!!”
Berulang kali telepon genggam Choi Hwan berteriak nyaring, minta segera diangkat. Namun si empunya masih sibuk memasang gembok berbentuk kepala babi di pohon gembok cinta di halaman Namsan Tower di sisi kiri, bersama Jung Ae Gi, pacarnya yang resmi menjadi miliknya tiga hari yang lalu.
“Babiku, sebaiknya kau angkat telepon itu, sebelum getar ponselmu yang tujuh koma sembilan skala richter itu menumbangkan tower di samping kita. Biar aku yang memasangkan gembok cinta kita,” ujar Ae Gi manja, sambil menghentak-hentakkan kakinya pelan, seperti kuda minta kawin.
Choi Hwan reflek menghentikan kesibukannya, menoleh ke Ae Gi.
“Terimakasih babiku,” ucap Choi Hwan, lantas mengelus kepala Ae Gi pelan. Ae Gi menanggapinya dengan memutar-mutar batok kepalanya seperti Tina Toon di video klip Bolo-Bolo.
“Halo, apa benar ini Choi Hwan? Cucu dari Hang Syang Kung, pemilik peternakan babi terkaya di Seoul?!” suara dari seberang terdengar panik dan tergesa-gesa.
***
“Kakeeeeeeeeeeekkkkkkkkk!” teriak Choi Hwan nyaring, sambil berlari syahdu menuju pembaringan kakeknya di sebuah kamar VIP di rumah sakit Hapdong Medical. Kedua lengan tangannya direntangkan lebar, langkah kakinya lebar dan tinggi.
Ae Gi mengekor di belakang kekasihnya, sambil berjingkat dramatis di atas sepasang stilleto-nya yang tingginya sembilan centi dan enam centi itu.
“Cu-cu-ku,” ucap Hang Syang Kung terbata. Tangan dan kakinya melambai kaku membentuk gelombang, seperti ikan kehabisan air, menggelepar ngeri.
“Hidup-ku tak a-kan la-ma la-gi,” jeda, “kau harus segera me-ni-kah, cu-cu-kuu. Ha-russs.”
“Baiklah. Aku sudah punya pacar, Kakek. Tak akan lama lagi, aku penuhi wasiat Kakek,” ucap Choi Hwan pilu. Jemarinya menggenggam ke dua bahu kakeknya, erat.
“Aku tak peduli siapa pacarmu!” tukas sang kakek tiba-tiba, menggelegar.
“Satu hal yang harus kau tahu dan kau patuhi, cucuku. Calon istrimu haruslah seorang babi. Ha-russs!”
“B-baik, Kakek,” jawab Choi Hwan pasrah.
Di belakangnya, tubuh Ae Gi mendadak lemas.
“Ah, bukan, cucuku. Maksudku, dia harus seorang wanita yang mencintai babi, seperti babi. Tubuhnya; haruslah seksi dan montok nan menggoda. Warna kulitnya; haruslah putih semu merah muda. Hidungnya mungil namun tajam penciumannya. Dan jika dia berjalan, seluruh isi dadamu pasti kan bergetar tak tahan melihat tingkah gemulainya. Kau mengerti, cu-cu-ku?!”
“Sangat mengerti, Kakek! Aku sudah menemukan babi itu!” sahut Choi Hwan bahagia.
“A-ku ha-rus se-ge-ra per-gi. Ja-di-lah cu-cu yang ba-ik, Choi Hwan! Ji-ka ti-dak, a-ku a-kan kem-ba-li dan meng-han-tu-i-mu!” ucap Hang Syang Kung untuk yang terakhir kalinya.
Tubuh renta itu mendadak lemas, lepas dari cengkeraman Choi Hwan. Matanya mengatup perlahan. Bibirnya membulat, lubang hidungnya mengembang. Dia kembali dalam damai. Dengan ribuan malaikat babi yang mengawalnya.
“Akhirnyaaaa!” teriak Choi Hwan bahagia.
“Kita akan segera menikah, babi seksiku!” pekik Choi Hwan sambil memeluk Ae Gi.
“Tak lama lagi. Aku akan melamarmu, membawa selusin babi terseksiku sebagai persembahan untuk orang tuamu!” seringai Choi Hwan lebar.
***
Dua minggu sejak peristiwa di rumah sakit Hapdong Medical.
 “Ku tunggu hadirmu di dekat Namsan Tower jam delapan pagi ini, di pohon cinta kita. Jangan terlambat, Jung Bi Gi!”
Ae Gi yang sedari tadi bahunya naik turun memeluk boneka babi pemberian Choi Hwan – menangis terseok-seok, tersentak membaca sms yang masuk ke inboxnya.
“Dwaeji,” pelan Ae Gi membaca nama pengirimnya.
Dwaeji[1]! Babi! Babiku! Choi Hwan-ku! Apakah dia sudah berubah pikiran? Apakah kata-kata putusnya kemarin sore hanyalah ilusi? Ataukah kemarin dia sedang bersandiwara? Ah, pasti kemarin dia terlalu banyak minum soju[2]! Batin Ae Gi antusias sambi menyeka ingusnya dengan selimut. Srooottt!!!
Sampai lima kali Ae Gi membaca ulang sms itu, meyakinkan bahwa pesan itu benar dari Choi Hwan untuk dirinya. Hampir saja bibir mungilnya merekah indah, ketika dia menyadari satu hal.
Jung Bi Gi? Bukankah namaku Jung Ae Gi. Apakah Hwan hilang ingatan? Ah! Jangan-jangan gara-gara aku melemparinya dengan segumpal salju kemarin?! Tapi kan aku melemparnya hanya tiga belas kali! Tak mungkin separah itu... Batin Ae Gi bertanya-tanya, gusar. Tangannya memilin-milin hidung boneka babinya cepat. Gundah bin gulana. Nama yang tertulis di pesan singkat itu mengingatkannya pada seseorang.
Kalau begitu, pasti dia hanya salah ketik. Atau masih terpengaruh soju. Ya, pasti begitu. Ae Gi meyakinkan dirinya.
Aku harus segera bersiap!
Srooottt!!! Ae Gi menyeka ingusnya sekali lagi.
***
Di sisi kanan Namsan Tower, pagar dengan ribuan gembok menggantung acak namun indah. Tinggal beberapa langkah lagi – di sisi kiri Namsan Tower, Ae Gi sampai di pohon cemara gembok cintanya dengan Choi Hwan.
Sekilas Ae Gi melempar pandangannya ke sekitar, ke pagar yang penuh dengan berbagai bentuk gembok. Tak didapatinya sosok Choi Hwan. Ke barisan pohon cemara warna-warni – pohon gembok, kosong. Hanya bulir-bulir salju yang masih nyaman menempel di ribuan gembok dan di sepanjang lantai yang diinjaknya. Mengingatkan Ae Gi pada pohon natal.
Ae Gi menajamkan penciumannya. Lubang hidungnya mengembang kempis dengan begitu cepat. Bibir mungilnya monyong beberapa centi seperti ikan koi. Sungguh pemandangan yang sangat eksotis, menggairahkan. Apalagi yang dia cari kalau bukan aroma kaus kaki Choi Hwan yang sudah bolong bagian jempolnya itu! Sepertinya radarnya berfungsi dengan baik. Ae Gi melangkah pelan, mengikuti suara hati hidungnya.
“Choi Hwaaaaaannn!!!” teriak Ae Gi kencang. Ke dua telapak tangannya membentuk corong di depan mulutnya.
Sejurus gembok-gembok bergetar, menghasilkan gemercing yang sungguh syahdu mendayu-dayu. Bahkan ada beberapa gembok yang berjatuhan lepas dari tempatnya. Salju-salju yang tadi nyaman bersantai di atasnya luruh begitu saja. Kaca Namsan Tower yang tingginya 236 meter pun turut beresonasi dengan suara  Ae Gi.
***
Di satu lantai di bawah observatorium – bagian paling atas dari Namsan Tower, di sebuah restoran yang terlihat eksklusif, Choi Hwan tengah duduk di sudut restoran, menggenggam tangan seorang gadis yang duduk di sampingnya. Jung Bi Gi.
Jempol kaki Choi Hwan tiba-tiba bergerak cepat, gemetar, seiring dengan bergetarnya dinding kaca Namsan Tower.
“Radar itu!” bisik Choi Hwan perlahan, lebih kepada dirinya sendiri.
“Ada apa, goyang-i[3]?” gadis dengan kaus bergambar hello kitty dan tas dengan bentuk kepala hello kitty itu bertanya, resah.
“T-tidak pa-pa, Bi Gi,” ucap Choi Hwan menenangkan. Tangannya secara reflek melepaskan genggamannya dan menarik-narik ujung kausnya. Jempol kakinya bergetar lebih cepat – membuat kedua lengan kakinya terlihat bergetar. Merobek kaus kakinya lebih dalam dan lebar.
“Kamu kedinginan?”
Choi Hwan menggeleng cepat, membuat peluhnya menetes deras. Mengalir, membasahi lantai di bawahnya, membentuk genangan kecil menyerupai bentuk hidung babi.
“Kita belum jadi menautkan gembok cinta kita, Choi Hwan. Mari kita turun dan menyatukan gembok ini di cemara itu, menyatukan cinta kita,” ucap Bi Gi sambil mengedipkan matanya cepat, membuat bulu mata pasangannya yang lebat menyerupai kipas itu melambai naik turun. Jemari dengan kuku-kuku panjangnya itu memainkan sepasang gembok berbentuk kepala hello kitty.
Getaran di jempolnya semakin terasa. Choi Hwan tidak tahan. Kedua kakinya menghentak keras ke lantai. Menimbulkan cipratan dari genangan hidung babi yang dihentaknya.
“Aku harus pergi, kucingku!” pekik Choi Hwan kepada Bi Gi.
Namun belum sempat Choi Hwan melangkah, tubuhnya terhuyung ke belakang, terjungkal. Dia terpeleset genangan yang terbentuk dari keringatnya sendiri.
“Kucingku!” Bi Gi sontak bangkit, hendak menolong kucing yang ditemukannya kemarin sore itu.
Namun, nasibnya tak jauh beda dengan Choi Hwan. Wedges dua belas centi-nya menginjak rok panjang rumbai-rumbainya. Keseimbangannya pun sirna. Bi Gi pasrah menyusul Choi Hwan. Badannya tumbang ke depan, menimpa Choi Hwan. Mereka berpelukan di lantai.
“Babiku!!!” tiba-tiba terdengar sebuah teriakan, mengagetkan seluruh pengunjung restoran.
Kedua makhluk yang tengah berpelukan di lantai sontak bangkit berdiri. Jempol kaki Choi Hwan lagi-lagi bergetar hebat. Perasaannya menangkap hawa mengkhawatirkan.
“Apa maksud semua ini, Choi Hwan!” Ae Gi tiba-tiba sudah menyeruak masuk di kerumunan yang melingkari Choi Hwan dan Bi Gi.
“Jadi ini alasanmu memutuskan hubungan kita!?”
“Heh, kucing garong! Apa maksudmu memeluk pacarku di lantai seperti itu?! Menjijikkan! Seperti kucing kampung!” teriak Ae Gi kepada Bi Gi nyaring.
“A-Ae Gi! Maafkan aku, sahabat. Aku tak bermaksud merebut pacarmu. Hanya saja, bukankah kita telah berjanji, akan selalu bersama, punya visi dan misi yang sama, tujuan bersama, apapun yang akan menimpa HelloPig nantinya,” ucap Bi Gi pelan.
Bi Gi bangkit kemudian mendekati Ae Gi dan memeluknya.
“Kau ingat, Ae Gi? Saat kita mengikrarkan sumpah pertama kita. Untuk membentuk girl band yang hebat, yang dahsyat, yang seksi nan menggoda seperti kucing dan babi. Yang heboh, cetar membahana. Kau ingat itu, Ae Gi?!” pekik Bi Gi sambil meremas kedua lengan Ae Gi dan menggoyang-goyangkannya keras.
Kepala Ae Gi berputar hebat seperti Tina Toon akibat perilaku Bi Gi. Bi Gi membaca itu sebagai sebuah anggukan.
“Dan kau masih ingat, kan, visi misi HelloPig?!”
Sontak keduanya berdiri tegak. Kedua lengan mereka bersatu. Jemari kiri Ae Gi menggenggam jemari kanan Bi Gi. Begitu pula sebaliknya. Terbentuklah sebuah lengkungan menyerupai gapura, persis seperti pemain “ular naga panjangnya”.
“Janji suci HelloPig! Satu! Berjanji akan menjadi girlband Korea paling cantik, hebat, dahsyat, dan cetar membahana! Dua! Tetap setia mencintai kucing dan babi, terutama Hello Kitty dan Piglet! Tiga! Satu hati sampai mati, satu visi, misi, tujuan, dan masa depan! Empat! Belum terpikirkan, dan bila ada revisi akan diberitahukan secepatnya di lain kesempatan!” ucap mereka berdua sambil menggoyang-goyangkan pinggul mereka.
Sekejap suasana restoran senyap. Para pengunjung dibuat terpana. Tak terkecuali Choi Hwan.
“Kau masih ingat janji itu, syukurlah,” desah Bi Gi lega, penuh haru. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Itulah mengapa aku mengencani pacarmu, Ae Gi. Aku tak ingin melanggar janji suci kita. Bukankah kita masih satu tujuan, satu masa depan?”
Bibir Ae Gi menganga lebar. Intuisi babinya menguap begitu saja.
“Kami sudah berjanji untuk segera menikah, Bi Gi! Apa yang harus aku lakukan?!” Rintih Ae Gi pedih.
“Aku tak ingin mengkhianati kakek. Aku pun tak ingin mengkhianatimu.”
“Tetaplah menikah, Ae Gi. Jangan pedulikan aku,” ucap Bi Gi pelan.
“Jika kau memang tega mengkhianati janji suci kita,” lanjut Bi Gi.
Lagi-lagi bibir Ae Gi menganga lebar. Aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar! Batin Ae Gi. Belum sempat Ae Gi menanggapi, sesosok makhluk yang dari tadi mereka perebutkan angkat bicara.
“Apa yang kalian bicarakan?! Mengapa ada  babi dan kucing di sini?! Apa!? Kalian kembar tapi beda!? Astaga, Kakek, kau menepati janjimu untuk datang menghantuiku?!” Choi Hwan mengigau berantakan. Tangannya melambai-lambai ke angkasa seperti penari tahiti dari Hawaii.
Sekejap saja, sosok tinggi besar putih tampan dan agak cantik itu kembali terkulai ke lantai. Pingsan.
“Babiku!”
“Kucingku!”
Ae Gi dan Bi Gi berteriak bersamaan. Mereka menghambur ke Choi Hwan, berebut memeluknya.
“Stop! Hentikan!” teriak Choi Hwan tiba-tiba.
Sontak Ae Gi dan Bi Gi mengurungkan niatnya.
“Segera bawa aku ke Hapdong Medical, karena aku akan koma selama dua puluh empat jam. Aku hanya bisa sembuh setelah kalian bersatu kembali,” desah Choi Hwan lirih kepada Ae Gi dan Bi Gi.
“Kekuatan babi dan kucing kalian akan membangunkanku dan membawa keajaiban,” ucap Choi Hwan lagi untuk yang terakhir kalinya, sebelum akhirnya koma menjemputnya.
***
Pagi harinya di Nami Island. Pulau yang menjadi bagian dari kota Chuncheonsebuah kota yang terletak disebelah barat Seoul – itu tampak ramai. Di salah satu sisi pulau yang bentuknya seperti mangkuk itu, di deretan panjang pohon pinus tanpa daun yang membentuk lorong panjang, berdiri sebuah panggung yang terbuat dari tumpukan salju maha megah. HelloPig melakukan konser amal besar-besaran!
Penonton bebas menikmati koreografi dan suara mereka yang syahdu nan aduhai memikat, tanpa harus membeli tiket. Namun tentu saja mereka tetap harus membeli tiket untuk masuk ke Namira Republic ini, menukarkan uang 8000 won mereka dengan selembar visa entry di loket imigrasi.
Lima menit lagi konser di mulai. Panggung sudah berdiri megah. Tampak di sisi kanan panggung penuh dengan boneka salju berbentuk babi, dan di sisi kiri panggung penuh dengan boneka salju berbentuk hello kitty. Di tengah panggung di sisi belakang, berdiri menjulang sebuah patung es yang sangat artistik. Tiap lekuk pahatannya seolah memancarkan aura yang mempesona. Apalagi kalau bukan patung Choi Hwan dengan kaus kaki bolongnya!
“Cub cub biii daaa cubi di dadaa! Cubida cubida syalalalaaaa!!!”
Musik mengalun dengan dahsyatnya, disusul dengan lenggokan menggoda dari Jung Ae Gi dan Jung Bi Gi. Gerakan kaki mereka liar tapi seksi, seperti seekor kucing kelaparan. Sedangkan bahu dan dada mereka bergerak membentuk gelombang. Sungguh menggoda, seperti gelambir seekor babi yang sedang berlari.
Kau teman yang selalu saja sejalan dan aw aw!
Selalu ada bersama aw aw!
Teman sejati takkan pisah selamanya
Semua takkan bisa menjadi menjadi nyata aw aw!
Jika kita tak bersama aw aw!
Selalu percaya dan yakinkan semua
Kau menghapuskan setiap luka
Mengingatku tentang mimpi terpendam
Agar semua kan menjadi nyata!
Satukan hati dan tersenyum
Yang ada ceria genggam tanganku
Yakin bisa mengalahkan dunia
Kau teman yang selalu saja sejalan dan pastikan
Selalu ada bersama aku kamu
Teman sejati takkan pisah selamanya!
Aw aw aw aw aw!!![4]
Mereka bernyanyi dengan sungguh sangat indah dan menyentuh hati. Semua pengunjung terbawa suasana. Boneka-boneka salju dan patung es pun ikut meleleh, luluh mendengarkan nyanyian mereka. Mereka semua menangis dalam gembira!
Tanpa mereka berdua sadari, tak jauh dari panggung yang kini telah luluh lantak dan mencair, di satu sisi di bawah pohon mapple yang daunnya kemerahan itu, tampak puluhan bayangan mistis babi melayang-layang, menari-nari mendengarkan lantunan merdu mereka. Kakek Hang Syang Kung dan pasukan babinya.
***
Malam harinya, kedua sahabat itu secara bersamaan mendapatkan pesan singkat dari Choi Hwan. Mereka yang sedang sibuk menghitung saweran yang mereka dapat dari pengunjung konser, sekejap saja memekik histeris.
“Choi Hwan sudah sadar dari komanya!”
“Hai, gadis-gadisku. Aku tunggu kalian di puncak observarium Namsan Tower!”
Mereka bertukar pandangan. Berdialog dengan hati masing-masing. Malam ini adalah malam penentuan!
***
Ae Gi terlihat cantik dengan gaun pink mininya di tengah musim dingin Seoul. Telinganya memancarkan cahaya putih, pantulan dari anting-anting berbentuk hidung babinya. Sedangkan Bi Gi mengenakan jump suit dengan motif tutul macan. Keduanya kompak mengenakan alas kaki kebanggaan mereka: stilleto berwarna perak, sisi kanan setinggi sembilan centimeter dan sisi kiri enam centimeter. Langkah mereka gusar mencari-cari.
Di mana Choi Hwan?!
Tak butuh waktu lama bagi Ae Gi menemukan sosok Choi Hwan. Radar hidung babinya mencium aroma kuat dari kaus kaki Choi Hwan. Di sisi seberang mereka!
“Choi Hwan...,” sapa sepasang gadis itu, yang dari tadi berdiri rikuh di belakang sosok lelaki itu.
Choi Hwan yang tengah berdiri memandang ke kejauhan kota Seoul dari ketinggian 236 meter itu sontak berbalik badan. Dia sudah mengetahui keberadaan gadis-gdis itu beberapa menit yang lalu. Radar jempol kakinya yang memberitahunya.
Seuntai senyum melebar dari bibir Choi Hwan. Kedua lengannya membuka lebar. Ae Gi ingin berlari ke dada bidang itu, begitupun Bi Gi. Keduanya pun mengurungkan niatnya.
“Aku sudah menemukan jalan keluar, gadis-gadisku,” kata Choi Hwan melipat lengannya di depan dada. Memandangi manik mata kedua gadis itu dengan dalam.
“Dalam komaku, kakek mendatangiku. Dia bercerita banyak kepadaku. Terimakasih karena kalian telah mengadakan konser amal di Nami Island demi kesembuhanku,” ucap Choi Hwan sambil memejamkan matanya.
“Bukankah kita semua telah menguncikan gembok cinta kita di bawah sana, gadis-gadisku!”
“B-bagaimana kau tahu, kucingku?” tanya Bi Gi terperangah. Memang, malam harinya sebelum konser amal itu, dia telah menautkan gembok hello kitty miliknya dan Choi Hwan secara diam-diam.
“Tinta takdir sudah tertorehkan. Tak ada yang bisa menghapuskan. Kita semua tak bisa melawan. Kakek berkata kepadaku, minggu depan aku harus segera menikah,” ucap Choi Hwan lagi, sambil memandangi dua gadis di depannya yang berdiri miring akibat sepatunya itu.
Ae Gi dan Bi Gi harap-harap cemas. Siapakah yang akan di pilih Choi Hwan? Sedangkan tadi katanya, tinta takdir sudah ditorehkan.
Ah, aku tidak siap. Pastilah Ae Gi yang akan di pilih. Bukankah dia yang lebih dahulu menautkan gembok cintanya? Lebih baik aku pingsan saja. Batin Bi Gi.
“Jangan pingsan dulu, Bi Gi!” ucap Choi Hwan tiba-tiba.
“Kakek mewasiatkan padaku... Agar aku... Menikahi...”
Sunyi. Senyap. Tiba-tiba semua pengunjung observarium memandang ke arah Choi Hwan, ikut menanti kalimat yang akan dikeluarkan olehnya.
“Aku harus menikahi kalian berdua. Minggu depan. Tepat pukul tiga dini hari. Di halaman Namsan Tower, di dekat pohon gembok cinta.”
“Apa!?” Ae Gi dan Bi Gi memekik bersamaan. Kedua kaki mereka sama-sama menghentak, dan kepala mereka berakrobat Tina Toon.
Choi Hwan sadar ini adalah keputusan yang berat untuk kedua gadis di depannya itu. Baru saja dia hendak berkhotbah meminta maaf, tiba-tiba saja kedua gadis di depannya menghambur berpelukan.
“Kita akan menjadi keluarga yang bahagia! Syukurlah, janji suci kita terlaksana!” ucap mereka haru sambil menangis bahagia.
“Kami mencintaimu, Choi Hwan!” ucap mereka sambil menghambur ke pelukan Choi Hwan.
Choi Hwan membanting napas dengan lega, sambil mengeratkan pelukannya ke kedua gadis itu.
“Besok pagi kita adakan konferensi pers!” pekik Ae Gi dan Bi Gi bebarengan.
***




[1] babi
[2] Minuman keras khas Korea
[3] kucing
[4] Lirik lagu Super Girlies: Hari-Harimu
 

H A P P Y Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template and web hosting Graphic from Enakei