Kamis, 28 November 2013

Cerpen: Positif

Diposting oleh Happy di 21.11 1 komentar
Cerpen ini dibuat pada hari sabtu tanggal 23 November 2013 puku 13.00 sampai 16.00 di gedung asrama #KampusFiksi DIVAPress. Yup, cerpen ini adalah tantangan yang diberi oleh mbak-mbak editor DIVA, untuk mengukur sejauh mana kemampuan kami setelah seharian mendapatkan cekokan materi yang begitu banyak. Dan aku kedapatan tema: Aku memilih diam.
Jadi, inilah cerpenku. Dan, o ya. Sekadar info aja, nih, cerpen ini adalah salah satu dari dua cerpen yang terpilih, yang dijadikan contoh oleh DIVA kepada 30 peserta yang lain, lho! :D Ini contoh hancurnya, mungkin--mengingat Pak Edi sempat bilang, bahwa untuk #KampusFiksi angakatan lima [angkatan kami], cerpen kami sungguh mengecewakan. Aaaaa tidaakkk >,<
Cerpen ini tadinya aku beri judul Kurnia Ibu. Tapi karena kata Pak Edi judulnya kayak tulisan di badan truk [aku baru sadar ._.] aku ganti aja deh ya. Tak ada satu kata pun yang aku tambah, kecuali judul dan pembenaran beberapa tanda baca. Selamat membaca.

Positif
“Nia pergi dulu, Bu,” pamit Nia kepada ibunya yang tengah menyetrika di ruang berukuran dua kali tiga meter itu.
“Mau ke mana kamu?! Setiap malam selalu keluyuran! Ibu nguliahin kamu biar kamu pinter, terus kerja, bisa ngasih duit buat Ibu! Bukan malah keluyuran tiap malam dan malu-maluin Ibu karena selalu jadi omongan tetangga seperti ini! Jangan meniru mbakyu-mu, Nia! Ibu capek-capek nguliahin, tapi apa yang dia kasih?!” gelegar ibunya sambil mengacung-acungkan setrika ke udara.
Nia melesat tanpa mempedulikan kalimat sang ibu yang belum selesai. Nia sudah bosan. Bosan dengan ibunya yang selalu memaki-maki Sinta―kakak perempuannya, karena setelah kuliah bukannya bekerja namun malah memilih untuk langsung menikah. Bosan dengan ibunya yang selalu mencerocos semau pikirnya, bahwa pasti menantunya mengidap penyakit tertentu karena sampai tiga tahun usia pernikahan kakaknya tak jua mengaruniainya seorang cucu.
“Tapi Ibu juga pengin nimang cucu kayak ibu-ibu tetangga yang lain,” begitu kilah ibunya tiap kali Nia memprotes ocehan prasangka ibunya yang berulang.
Nia benar-benar capek.
Malam itu pukul delapan. Begitu Nia membuka pintu depan, cowok berkendara Suzuki Satria  lawas sudah menunggu di depan pagar rumah. Setelah Nia menghempaskan pantatnya ke sadel belakang dan membenarkan rok hitamnya yang hanya lima senti di atas lutut, dengan sekali hentak di stang gas, motor dua tak itu meluncur membelah malam, meninggalkan deru berisik yang menyayat  telinga serta kepulan asap putih yang memedihkan mata.
***
 Tempat itu tampak sepi dan lengang. Lampu-lampu dengan cahaya menyilaukan mata tetap berpijar di langit-langit, meski hanya beberapa gelintir manusia yang ada di bawahnya.
Nia menguap sebentar, sambil membenahi benda-benda yang berantakan di sekitarnya. Tak jauh darinya, tampak lelaki yang setiap malam menjemputnya melakukan hal yang sama.
“Kamu kelihatan capek banget, Nia,” ucap cowok itu sambil mengusap lembut rambut Nia.
Nia hanya mengangguk lemah sambil menempelkan telapak tangannya ke mulut, menguap.
“Pelanggan hari ini lumayan banyak, ya?”
“Iya. Biasa, malam minggu,” tanggap Nia.
“Mau pulang sekarang? Lagian, setelah bayaran jam satu tadi kita sudah boleh pulang, kan.”
“Sekarang jam berapa?” Nia balik melempar tanya.
“Jam dua, lebih sedikit.”
Menit berikutnya, Nia sudah duduk di sadel belakang motor cowok itu.
“Berhenti,” ujar Nia setelah hampir lima belas menit angin malam membelai kaki jenjangnya yang berbalut stoking.
“Tapi rumahmu masih dua puluh meter lagi. Kamu capek banget, ya, sampai-sampai meminta berhenti di depan rumah kakakmu?” tanya lelaki itu resah.
“Tadi mbak Sinta menelepon. Ingin menitipkan sesuatu untuk  Ibu. Walaupun dekat, tapi... Kamu tahu, kan, bagaimana ibu,” terang Nia.
Cowok itu menurut dan berhenti. Membiarkan Nia mengetuk pintu rumah kecil tak berpagar itu. Semenit selanjutnya, tampak seorang wanita dengan rambut panjang tergerai berantakan membuka pintu. Beberapa detik berikutnya, pintu kembali tertutup dan Nia melangkah menjauh.
“Sudah?”
Nia mengangguk.
“Aku tak melihat kamu membawa sesuatu,” ujar cowok itu.
Nia memilih tak menjawab. Hingga cowok itu menurunkannya di depan pagar rumah dan melesat meninggalkan deru berisik dan kepulan asap.
***
“Nia! Bangun kamu!” ibu berteriak sambil menggoyang-goyangkan tubuh Nia yang masih berbalut rok pendek dan stoking hitam.
“Nia!! Ada yang harus kau jelaskan pada ibu!” bentak ibunya lebih kencang.
Nia melenguh pelan, sebelum akhirnya menggeliat dan duduk di kasurnya.
“Ada apa, Bu?” tanyanya dengan suara pelan.
Nia menatap ke bingkai jendela yang  sudah terbuka. Sinar matahari yang panas menelusup di balik tirai. Nia mengira-ngira, pastilah sekarang sudah lebih dari pukul delapan.
“Apa yang ada di tasmu?! Apa maksudnya?! Kamu harus menjelaskannya, Nia!”
Nia meraih tas yang semalam dibawanya, dan menengok isinya. Kosong.
“Apa maksud semua ini, Nia?! Jadi ini kegiatanmu selama ini?! Kamu menjual dirimu, hah?!” ibu berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan amplop coklat yang tebal dan...
“Kamu hamil, hah!?” sebuah testpack meluncur dari tangan sang ibu, berpindah ke pangkuan Nia.
Sambil mendengus, Nia menyahut, “Nia masih capek, Bu. Kalau Ibu mau membahas ini, tunggu nanti malam setelah Nia pulang kuliah.”
“Kamu bilang tunggu nanti malam?! Kamu mau Ibu menceritakan kepada tetangga dahulu?! Begitu?!”
Nia meraih rambutnya yang tergerai dengan kedua tangannya. Mengangkatnya tinggi, memperlihatkan batang lehernya yang jenjang, sebelum akhirnya mengikat rambut itu. Dengan tak acuh Nia melangkah ke kamar mandi.
Usai Nia membersihkan diri dan mengganti kostumnya dengan kaos pendek dan celana jins, ibunya masih berada di kamarnya. Kali ini sambil terduduk. Dengan bahu yang berguncang naik turun perlahan. Juga air yang meluncur tanpa malu dari kelopak matanya.
Nia tak peduli. Setelah menyapukan bedak dan segaris lipgloss, Nia meraih tasnya dan melangkah.
“Nia kuliah dulu.”
Sang ibu tak menyahut, apalagi mengikuti langkah Nia dan mengantarnya sampai depan pintu. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya.
Sepuluh menit berikutnya, wanita itu masih sibuk meratap. Sampai akhirnya suara ketukan di pintu terdengar.
“Ibu, apa kabar?” seorang wanita berambut panjang menyapa tulus.
Wanita hampir setengah abad itu hanya menatap nanar sosok di ambang pintu itu.
“Jadi, apakah Kurnia sudah cerita, Bu? Apa Ibu senang?” tanya wanita itu lagi.
Ibu masih membeku dengan air mata yang mengalir.
“Ibu akan punya cucu. Ibu pasti senang, kan? Tadi pagi buta Nia mampir ke rumah, kutitipi sesuatu untuk Ibu. Kami menduga pasti Ibu akan terkejut. Dan benar saja, Ibu saat ini menangis. Itu air mata bahagia, kan?”
Sunyi. Senyap. Hanya suara helaan napas sang ibu yang berat terdengar.
“Ibu jangan membenci kami lagi. Sekarang aku hamil, Bu. Tuduhan ibu pada kami selama ini sama sekali tidak benar. Kami akan punya anak.”
Suara wanita berambut panjang itu kini bergetar. Pun jua bibirnya. Dari pelupuk matanya, membanjir air mata.
“Kurnia adik yang hebat. Bahkan dia mampu membagi waktunya untuk kuliah dan bekerja di minimarket di pinggir kota. Itu, kan, yang Ibu mau? Bekerja? Dia berbeda dariku, Bu. Ibu jangan pernah membentak dan memarahinya lagi. Jangan, Bu. Dia tak sepertiku,” suara wanita itu berubah menjadi rintihan.
Hening. Bahkan tiga menit kemudian, tak ada yang terucap dari bibir dua wanita itu. Hanya air mata serta tangis sesenggukan yang bersahutan.

***

Tamaaaat! :D
Yah, baru bisa sampai sebatas itu, sih :3 Kritik saran boleh lhoo :)

 

H A P P Y Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template and web hosting Graphic from Enakei