Cerpen ini dibuat tiga jam saja - karena dikejar deadline, dengan niat untuk mengikuti lomba cerpen bertajuk #K-PopKoplak yang diadakan oleh penerbit mayor dari Jogja, @divapress01. Dengan syarat cerpen harus berlatar dan ber-taste Korea, harus koplak bikin ngakak, aku coba nekat ngirim cerpen ini walaupun belum pernah terpikirkan akan nyemplung ke genre komedi dan belum pernah bikin cerita komedi sebelumnya. Dan the result is, alhamdulillah tidak menang :D Daripada teronggok nganggur dan akhirnya usang dan berdebu di sudut hardisk, dipos disini gapapa kali ya.
HelloPig
Berbagi Cinta
“Cub cub biii daaa cubi di dadaa!
Cubida cubida syalalalaaaa!!!”
Berulang kali telepon genggam Choi
Hwan berteriak nyaring, minta segera diangkat. Namun si empunya masih sibuk
memasang gembok berbentuk kepala babi di pohon gembok cinta di halaman Namsan
Tower di sisi kiri, bersama Jung Ae Gi, pacarnya yang resmi menjadi miliknya
tiga hari yang lalu.
“Babiku, sebaiknya kau angkat telepon
itu, sebelum getar ponselmu yang tujuh koma sembilan skala richter itu
menumbangkan tower di samping kita. Biar aku yang memasangkan gembok cinta
kita,” ujar Ae Gi manja, sambil menghentak-hentakkan kakinya pelan, seperti
kuda minta kawin.
Choi Hwan reflek menghentikan
kesibukannya, menoleh ke Ae Gi.
“Terimakasih babiku,” ucap Choi Hwan,
lantas mengelus kepala Ae Gi pelan. Ae Gi menanggapinya dengan memutar-mutar batok
kepalanya seperti Tina Toon di video klip Bolo-Bolo.
“Halo, apa benar ini Choi Hwan? Cucu dari Hang Syang Kung, pemilik
peternakan babi terkaya di Seoul?!” suara dari seberang terdengar panik dan tergesa-gesa.
***
“Kakeeeeeeeeeeekkkkkkkkk!” teriak Choi
Hwan nyaring, sambil berlari syahdu menuju pembaringan kakeknya di sebuah kamar
VIP di rumah sakit Hapdong Medical. Kedua lengan tangannya direntangkan lebar,
langkah kakinya lebar dan tinggi.
Ae Gi mengekor di belakang kekasihnya,
sambil berjingkat dramatis di atas sepasang stilleto-nya
yang tingginya sembilan centi dan enam centi itu.
“Cu-cu-ku,” ucap Hang Syang Kung
terbata. Tangan dan kakinya melambai kaku membentuk gelombang, seperti ikan
kehabisan air, menggelepar ngeri.
“Hidup-ku tak a-kan la-ma la-gi,”
jeda, “kau harus segera me-ni-kah, cu-cu-kuu. Ha-russs.”
“Baiklah. Aku sudah punya pacar, Kakek.
Tak akan lama lagi, aku penuhi wasiat Kakek,” ucap Choi Hwan pilu. Jemarinya
menggenggam ke dua bahu kakeknya, erat.
“Aku tak peduli siapa pacarmu!” tukas
sang kakek tiba-tiba, menggelegar.
“Satu hal yang harus kau tahu dan kau
patuhi, cucuku. Calon istrimu haruslah seorang babi. Ha-russs!”
“B-baik, Kakek,” jawab Choi Hwan
pasrah.
Di belakangnya, tubuh Ae Gi mendadak
lemas.
“Ah, bukan, cucuku. Maksudku, dia
harus seorang wanita yang mencintai babi, seperti babi. Tubuhnya; haruslah
seksi dan montok nan menggoda. Warna kulitnya; haruslah putih semu merah muda.
Hidungnya mungil namun tajam penciumannya. Dan jika dia berjalan, seluruh isi
dadamu pasti kan bergetar tak tahan melihat tingkah gemulainya. Kau mengerti,
cu-cu-ku?!”
“Sangat mengerti, Kakek! Aku sudah
menemukan babi itu!” sahut Choi Hwan bahagia.
“A-ku ha-rus se-ge-ra per-gi. Ja-di-lah
cu-cu yang ba-ik, Choi Hwan! Ji-ka ti-dak, a-ku a-kan kem-ba-li dan
meng-han-tu-i-mu!” ucap Hang Syang Kung untuk yang terakhir kalinya.
Tubuh renta itu mendadak lemas, lepas
dari cengkeraman Choi Hwan. Matanya mengatup perlahan. Bibirnya membulat,
lubang hidungnya mengembang. Dia kembali dalam damai. Dengan ribuan malaikat
babi yang mengawalnya.
“Akhirnyaaaa!” teriak Choi Hwan
bahagia.
“Kita akan segera menikah, babi
seksiku!” pekik Choi Hwan sambil memeluk Ae Gi.
“Tak lama lagi. Aku akan melamarmu,
membawa selusin babi terseksiku sebagai persembahan untuk orang tuamu!”
seringai Choi Hwan lebar.
***
Dua minggu sejak peristiwa di rumah
sakit Hapdong Medical.
“Ku tunggu hadirmu di dekat Namsan
Tower jam delapan pagi ini, di pohon cinta kita. Jangan terlambat, Jung Bi Gi!”
Ae Gi yang sedari tadi bahunya naik
turun memeluk boneka babi pemberian Choi Hwan – menangis terseok-seok,
tersentak membaca sms yang masuk ke inboxnya.
“Dwaeji,” pelan Ae Gi membaca nama
pengirimnya.
Dwaeji[1]! Babi! Babiku! Choi Hwan-ku! Apakah dia
sudah berubah pikiran? Apakah kata-kata putusnya kemarin sore hanyalah ilusi?
Ataukah kemarin dia sedang bersandiwara? Ah, pasti kemarin dia terlalu banyak
minum soju[2]! Batin Ae Gi antusias sambi menyeka
ingusnya dengan selimut. Srooottt!!!
Sampai lima kali Ae Gi membaca ulang
sms itu, meyakinkan bahwa pesan itu benar dari Choi Hwan untuk dirinya. Hampir
saja bibir mungilnya merekah indah, ketika dia menyadari satu hal.
Jung Bi Gi? Bukankah namaku Jung Ae Gi. Apakah Hwan hilang ingatan? Ah!
Jangan-jangan gara-gara aku melemparinya dengan segumpal salju kemarin?! Tapi
kan aku melemparnya hanya tiga belas kali! Tak mungkin separah itu... Batin Ae Gi bertanya-tanya, gusar. Tangannya
memilin-milin hidung boneka babinya cepat. Gundah bin gulana. Nama yang tertulis
di pesan singkat itu mengingatkannya pada seseorang.
Kalau begitu, pasti dia hanya salah ketik. Atau masih terpengaruh soju. Ya,
pasti begitu. Ae Gi meyakinkan dirinya.
Aku harus segera bersiap!
Srooottt!!! Ae Gi menyeka ingusnya
sekali lagi.
***
Di sisi kanan Namsan Tower, pagar
dengan ribuan gembok menggantung acak namun indah. Tinggal beberapa langkah
lagi – di sisi kiri Namsan Tower, Ae Gi sampai di pohon cemara gembok cintanya
dengan Choi Hwan.
Sekilas Ae Gi melempar pandangannya ke
sekitar, ke pagar yang penuh dengan berbagai bentuk gembok. Tak didapatinya
sosok Choi Hwan. Ke barisan pohon cemara warna-warni – pohon gembok, kosong.
Hanya bulir-bulir salju yang masih nyaman menempel di ribuan gembok dan di sepanjang
lantai yang diinjaknya. Mengingatkan Ae Gi pada pohon natal.
Ae Gi menajamkan penciumannya. Lubang
hidungnya mengembang kempis dengan begitu cepat. Bibir mungilnya monyong
beberapa centi seperti ikan koi. Sungguh pemandangan yang sangat eksotis,
menggairahkan. Apalagi yang dia cari kalau bukan aroma kaus kaki Choi Hwan yang
sudah bolong bagian jempolnya itu! Sepertinya radarnya berfungsi dengan baik.
Ae Gi melangkah pelan, mengikuti suara hati hidungnya.
“Choi Hwaaaaaannn!!!” teriak Ae Gi
kencang. Ke dua telapak tangannya membentuk corong di depan mulutnya.
Sejurus gembok-gembok bergetar,
menghasilkan gemercing yang sungguh syahdu mendayu-dayu. Bahkan ada beberapa
gembok yang berjatuhan lepas dari tempatnya. Salju-salju yang tadi nyaman
bersantai di atasnya luruh begitu saja. Kaca Namsan Tower yang tingginya 236 meter
pun turut beresonasi dengan suara Ae Gi.
***
Di satu lantai di bawah observatorium
– bagian paling atas dari Namsan Tower, di sebuah restoran yang terlihat
eksklusif, Choi Hwan tengah duduk di sudut restoran, menggenggam tangan seorang
gadis yang duduk di sampingnya. Jung Bi Gi.
Jempol kaki Choi Hwan tiba-tiba
bergerak cepat, gemetar, seiring dengan bergetarnya dinding kaca Namsan Tower.
“Radar itu!” bisik Choi Hwan perlahan,
lebih kepada dirinya sendiri.
“Ada apa, goyang-i[3]?”
gadis dengan kaus bergambar hello kitty dan tas dengan bentuk kepala hello
kitty itu bertanya, resah.
“T-tidak pa-pa, Bi Gi,” ucap Choi Hwan
menenangkan. Tangannya secara reflek melepaskan genggamannya dan menarik-narik
ujung kausnya. Jempol kakinya bergetar lebih cepat – membuat kedua lengan
kakinya terlihat bergetar. Merobek kaus kakinya lebih dalam dan lebar.
“Kamu kedinginan?”
Choi Hwan menggeleng cepat, membuat
peluhnya menetes deras. Mengalir, membasahi lantai di bawahnya, membentuk
genangan kecil menyerupai bentuk hidung babi.
“Kita belum jadi menautkan gembok
cinta kita, Choi Hwan. Mari kita turun dan menyatukan gembok ini di cemara itu,
menyatukan cinta kita,” ucap Bi Gi sambil mengedipkan matanya cepat, membuat
bulu mata pasangannya yang lebat menyerupai kipas itu melambai naik turun.
Jemari dengan kuku-kuku panjangnya itu memainkan sepasang gembok berbentuk
kepala hello kitty.
Getaran di jempolnya semakin terasa.
Choi Hwan tidak tahan. Kedua kakinya menghentak keras ke lantai. Menimbulkan
cipratan dari genangan hidung babi yang dihentaknya.
“Aku harus pergi, kucingku!” pekik
Choi Hwan kepada Bi Gi.
Namun belum sempat Choi Hwan
melangkah, tubuhnya terhuyung ke belakang, terjungkal. Dia terpeleset genangan
yang terbentuk dari keringatnya sendiri.
“Kucingku!” Bi Gi sontak bangkit,
hendak menolong kucing yang ditemukannya kemarin sore itu.
Namun, nasibnya tak jauh beda dengan
Choi Hwan. Wedges dua belas centi-nya menginjak rok panjang rumbai-rumbainya.
Keseimbangannya pun sirna. Bi Gi pasrah menyusul Choi Hwan. Badannya tumbang ke
depan, menimpa Choi Hwan. Mereka berpelukan di lantai.
“Babiku!!!” tiba-tiba terdengar sebuah
teriakan, mengagetkan seluruh pengunjung restoran.
Kedua makhluk yang tengah berpelukan
di lantai sontak bangkit berdiri. Jempol kaki Choi Hwan lagi-lagi bergetar
hebat. Perasaannya menangkap hawa mengkhawatirkan.
“Apa maksud semua ini, Choi Hwan!” Ae
Gi tiba-tiba sudah menyeruak masuk di kerumunan yang melingkari Choi Hwan dan
Bi Gi.
“Jadi ini alasanmu memutuskan hubungan
kita!?”
“Heh, kucing garong! Apa maksudmu
memeluk pacarku di lantai seperti itu?! Menjijikkan! Seperti kucing kampung!”
teriak Ae Gi kepada Bi Gi nyaring.
“A-Ae Gi! Maafkan aku, sahabat. Aku
tak bermaksud merebut pacarmu. Hanya saja, bukankah kita telah berjanji, akan
selalu bersama, punya visi dan misi yang sama, tujuan bersama, apapun yang akan
menimpa HelloPig nantinya,” ucap Bi Gi pelan.
Bi Gi bangkit kemudian mendekati Ae Gi
dan memeluknya.
“Kau ingat, Ae Gi? Saat kita
mengikrarkan sumpah pertama kita. Untuk membentuk girl band yang hebat, yang
dahsyat, yang seksi nan menggoda seperti kucing dan babi. Yang heboh, cetar
membahana. Kau ingat itu, Ae Gi?!” pekik Bi Gi sambil meremas kedua lengan Ae
Gi dan menggoyang-goyangkannya keras.
Kepala Ae Gi berputar hebat seperti
Tina Toon akibat perilaku Bi Gi. Bi Gi membaca itu sebagai sebuah anggukan.
“Dan kau masih ingat, kan, visi misi
HelloPig?!”
Sontak keduanya berdiri tegak. Kedua
lengan mereka bersatu. Jemari kiri Ae Gi menggenggam jemari kanan Bi Gi. Begitu
pula sebaliknya. Terbentuklah sebuah lengkungan menyerupai gapura, persis
seperti pemain “ular naga panjangnya”.
“Janji suci HelloPig! Satu! Berjanji
akan menjadi girlband Korea paling cantik, hebat, dahsyat, dan cetar membahana!
Dua! Tetap setia mencintai kucing dan babi, terutama Hello Kitty dan Piglet!
Tiga! Satu hati sampai mati, satu visi, misi, tujuan, dan masa depan! Empat!
Belum terpikirkan, dan bila ada revisi akan diberitahukan secepatnya di lain
kesempatan!” ucap mereka berdua sambil menggoyang-goyangkan pinggul mereka.
Sekejap suasana restoran senyap. Para
pengunjung dibuat terpana. Tak terkecuali Choi Hwan.
“Kau masih ingat janji itu,
syukurlah,” desah Bi Gi lega, penuh haru. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Itulah mengapa aku mengencani
pacarmu, Ae Gi. Aku tak ingin melanggar janji suci kita. Bukankah kita masih
satu tujuan, satu masa depan?”
Bibir Ae Gi menganga lebar. Intuisi
babinya menguap begitu saja.
“Kami sudah berjanji untuk segera
menikah, Bi Gi! Apa yang harus aku lakukan?!” Rintih Ae Gi pedih.
“Aku tak ingin mengkhianati kakek. Aku
pun tak ingin mengkhianatimu.”
“Tetaplah menikah, Ae Gi. Jangan
pedulikan aku,” ucap Bi Gi pelan.
“Jika kau memang tega mengkhianati
janji suci kita,” lanjut Bi Gi.
Lagi-lagi bibir Ae Gi menganga lebar. Aku telah melakukan kesalahan yang sangat
besar! Batin Ae Gi. Belum sempat Ae Gi menanggapi, sesosok makhluk yang
dari tadi mereka perebutkan angkat bicara.
“Apa yang kalian bicarakan?! Mengapa
ada babi dan kucing di sini?! Apa!?
Kalian kembar tapi beda!? Astaga, Kakek, kau menepati janjimu untuk datang
menghantuiku?!” Choi Hwan mengigau berantakan. Tangannya melambai-lambai ke
angkasa seperti penari tahiti dari Hawaii.
Sekejap saja, sosok tinggi besar putih
tampan dan agak cantik itu kembali terkulai ke lantai. Pingsan.
“Babiku!”
“Kucingku!”
Ae Gi dan Bi Gi berteriak bersamaan.
Mereka menghambur ke Choi Hwan, berebut memeluknya.
“Stop! Hentikan!” teriak Choi Hwan
tiba-tiba.
Sontak Ae Gi dan Bi Gi mengurungkan
niatnya.
“Segera bawa aku ke Hapdong Medical,
karena aku akan koma selama dua puluh empat jam. Aku hanya bisa sembuh setelah
kalian bersatu kembali,” desah Choi Hwan lirih kepada Ae Gi dan Bi Gi.
“Kekuatan babi dan kucing kalian akan
membangunkanku dan membawa keajaiban,” ucap Choi Hwan lagi untuk yang terakhir
kalinya, sebelum akhirnya koma menjemputnya.
***
Pagi harinya di Nami Island. Pulau
yang menjadi bagian dari kota Chuncheon – sebuah kota yang
terletak disebelah barat Seoul – itu
tampak ramai. Di salah satu sisi pulau yang bentuknya seperti mangkuk itu, di
deretan panjang pohon pinus tanpa daun yang membentuk lorong panjang, berdiri
sebuah panggung yang terbuat dari tumpukan salju maha megah. HelloPig melakukan
konser amal besar-besaran!
Penonton bebas menikmati koreografi
dan suara mereka yang syahdu nan aduhai memikat, tanpa harus membeli tiket.
Namun tentu saja mereka tetap harus membeli tiket untuk masuk ke Namira
Republic ini, menukarkan uang 8000 won mereka dengan selembar visa entry di
loket imigrasi.
Lima menit lagi konser di mulai.
Panggung sudah berdiri megah. Tampak di sisi kanan panggung penuh dengan boneka
salju berbentuk babi, dan di sisi kiri panggung penuh dengan boneka salju
berbentuk hello kitty. Di tengah panggung di sisi belakang, berdiri menjulang
sebuah patung es yang sangat artistik. Tiap lekuk pahatannya seolah memancarkan
aura yang mempesona. Apalagi kalau bukan patung Choi Hwan dengan kaus kaki
bolongnya!
“Cub cub biii daaa cubi di dadaa!
Cubida cubida syalalalaaaa!!!”
Musik mengalun dengan dahsyatnya,
disusul dengan lenggokan menggoda dari Jung Ae Gi dan Jung Bi Gi. Gerakan kaki
mereka liar tapi seksi, seperti seekor kucing kelaparan. Sedangkan bahu dan
dada mereka bergerak membentuk gelombang. Sungguh menggoda, seperti gelambir
seekor babi yang sedang berlari.
Kau teman yang selalu saja sejalan dan aw aw!
Selalu ada bersama aw aw!
Teman sejati takkan pisah selamanya
Semua takkan bisa menjadi menjadi nyata aw aw!
Jika kita tak bersama aw aw!
Selalu percaya dan yakinkan semua
Kau menghapuskan setiap luka
Mengingatku tentang mimpi terpendam
Agar semua kan menjadi nyata!
Satukan hati dan tersenyum
Yang ada ceria genggam tanganku
Yakin bisa mengalahkan dunia
Kau teman yang selalu saja sejalan dan pastikan
Selalu ada bersama aku kamu
Teman sejati takkan pisah selamanya!
Aw aw aw aw aw!!![4]
Mereka bernyanyi dengan sungguh sangat
indah dan menyentuh hati. Semua pengunjung terbawa suasana. Boneka-boneka salju
dan patung es pun ikut meleleh, luluh mendengarkan nyanyian mereka. Mereka
semua menangis dalam gembira!
Tanpa mereka berdua sadari, tak jauh
dari panggung yang kini telah luluh lantak dan mencair, di satu sisi di bawah
pohon mapple yang daunnya kemerahan itu, tampak puluhan bayangan mistis babi
melayang-layang, menari-nari mendengarkan lantunan merdu mereka. Kakek Hang
Syang Kung dan pasukan babinya.
***
Malam harinya, kedua sahabat itu
secara bersamaan mendapatkan pesan singkat dari Choi Hwan. Mereka yang sedang
sibuk menghitung saweran yang mereka dapat dari pengunjung konser, sekejap saja
memekik histeris.
“Choi Hwan sudah sadar dari komanya!”
“Hai, gadis-gadisku. Aku tunggu kalian di puncak observarium Namsan Tower!”
Mereka bertukar pandangan. Berdialog
dengan hati masing-masing. Malam ini
adalah malam penentuan!
***
Ae Gi terlihat cantik dengan gaun pink
mininya di tengah musim dingin Seoul. Telinganya memancarkan cahaya putih,
pantulan dari anting-anting berbentuk hidung babinya. Sedangkan Bi Gi
mengenakan jump suit dengan motif tutul macan. Keduanya kompak mengenakan alas
kaki kebanggaan mereka: stilleto berwarna
perak, sisi kanan setinggi sembilan centimeter dan sisi kiri enam centimeter.
Langkah mereka gusar mencari-cari.
Di mana Choi Hwan?!
Tak butuh waktu lama bagi Ae Gi
menemukan sosok Choi Hwan. Radar hidung babinya mencium aroma kuat dari kaus
kaki Choi Hwan. Di sisi seberang mereka!
“Choi Hwan...,” sapa sepasang gadis
itu, yang dari tadi berdiri rikuh di belakang sosok lelaki itu.
Choi Hwan yang tengah berdiri
memandang ke kejauhan kota Seoul dari ketinggian 236 meter itu sontak berbalik
badan. Dia sudah mengetahui keberadaan gadis-gdis itu beberapa menit yang lalu.
Radar jempol kakinya yang memberitahunya.
Seuntai senyum melebar dari bibir Choi
Hwan. Kedua lengannya membuka lebar. Ae Gi ingin berlari ke dada bidang itu,
begitupun Bi Gi. Keduanya pun mengurungkan niatnya.
“Aku sudah menemukan jalan keluar,
gadis-gadisku,” kata Choi Hwan melipat lengannya di depan dada. Memandangi
manik mata kedua gadis itu dengan dalam.
“Dalam komaku, kakek mendatangiku. Dia
bercerita banyak kepadaku. Terimakasih karena kalian telah mengadakan konser
amal di Nami Island demi kesembuhanku,” ucap Choi Hwan sambil memejamkan
matanya.
“Bukankah kita semua telah menguncikan
gembok cinta kita di bawah sana, gadis-gadisku!”
“B-bagaimana kau tahu, kucingku?”
tanya Bi Gi terperangah. Memang, malam harinya sebelum konser amal itu, dia
telah menautkan gembok hello kitty miliknya dan Choi Hwan secara diam-diam.
“Tinta takdir sudah tertorehkan. Tak
ada yang bisa menghapuskan. Kita semua tak bisa melawan. Kakek berkata
kepadaku, minggu depan aku harus segera menikah,” ucap Choi Hwan lagi, sambil
memandangi dua gadis di depannya yang berdiri miring akibat sepatunya itu.
Ae Gi dan Bi Gi harap-harap cemas.
Siapakah yang akan di pilih Choi Hwan? Sedangkan tadi katanya, tinta takdir
sudah ditorehkan.
Ah, aku tidak siap. Pastilah Ae Gi yang akan di pilih. Bukankah dia yang
lebih dahulu menautkan gembok cintanya? Lebih baik aku pingsan saja. Batin Bi Gi.
“Jangan pingsan dulu, Bi Gi!” ucap
Choi Hwan tiba-tiba.
“Kakek mewasiatkan padaku... Agar
aku... Menikahi...”
Sunyi. Senyap. Tiba-tiba semua
pengunjung observarium memandang ke arah Choi Hwan, ikut menanti kalimat yang
akan dikeluarkan olehnya.
“Aku harus menikahi kalian berdua.
Minggu depan. Tepat pukul tiga dini hari. Di halaman Namsan Tower, di dekat
pohon gembok cinta.”
“Apa!?” Ae Gi dan Bi Gi memekik
bersamaan. Kedua kaki mereka sama-sama menghentak, dan kepala mereka berakrobat
Tina Toon.
Choi Hwan sadar ini adalah keputusan
yang berat untuk kedua gadis di depannya itu. Baru saja dia hendak berkhotbah meminta
maaf, tiba-tiba saja kedua gadis di depannya menghambur berpelukan.
“Kita akan menjadi keluarga yang
bahagia! Syukurlah, janji suci kita terlaksana!” ucap mereka haru sambil
menangis bahagia.
“Kami mencintaimu, Choi Hwan!” ucap
mereka sambil menghambur ke pelukan Choi Hwan.
Choi Hwan membanting napas dengan
lega, sambil mengeratkan pelukannya ke kedua gadis itu.
“Besok pagi kita adakan konferensi
pers!” pekik Ae Gi dan Bi Gi bebarengan.
***
3 komentar:
Very great post. I simply stumbled upon your blog and wanted to say that I have really enjoyed browsing your weblog posts. After all I’ll be subscribing on your feed and I am hoping you write again very soon!
Hi, Really great effort. Everyone must read this article. Thanks for sharing.
It was very useful for me. Keep sharing such ideas in the future as well. This was actually what I was looking for, and I am glad to came here! Thanks for sharing the such information with us.
Posting Komentar
Kolom coret-coret ^_^