Dengan semangat berapi-api, saya email ke Diva, dan bodohnya saya tidak sadar *tepatnya tidak tahu* kalau attach email saya ini tidak terbaca dan Diva meminta saya untuk mengirim ulang. Saya buka email balasan itu pada saat DeadLine lomba sudah habis! :(
Selang beberapa waktu, dibuka pendaftaran #KampusFiksi dari Diva *pelatihan penulisan fiksi yang diadakan oleh Diva untuk calon penulis seluruh Indonesia, event rutin dengan 1 angkatan per bulan @30 peserta, menginap 2 hari gratis*. Untuk dapat mengikuti acara ini harus mengirimkan cerpennya, dan yang cerpennya lolos seleksi lah yang berhak ikut.
Dan the result is, alhamdulillah cerpen saya lolos, dan saya menjadi peserta #KampusFiksi angkatan 5, atau bulan Oktober besok :D
Berikut ini adalah cerpennya.
HFA
15 Januari 2013, 21:49 WIB
I'll be the water you need in the
desert land, just to let you know you'll always have my hand. I'll be the woman
you need to be a better man, so you'll always know...
That’s How Strong My
Love Is milik Alicia Keys mengalun lembut dari headset yang memeluk kedua daun telingaku. Jemariku yang tadinya
menari lincah di atas tuts keyboard
terhenti. Aku sangat suka lagu ini. Lagu yang ku kenal saat aku masih
berpacaran dengan Aldi, cinta pertamaku.
Aku ingin sekali menjadi
wanita dalam lirik lagu itu. Aku ingin menjadi wanita yang dia butuhkan untuk
menjadi lelaki yang lebih baik. Tapi nyatanya hubungan kami berakhir begitu
saja tepat di tiga tahun anniversary
kami.
Ku hentikan pekerjaanku
– proposal bab lima yang sebenarnya sudah harus selesai esok lusa, untuk
dikoreksi dosen pembimbingku.
“Al, apa kabarmu?
Hampir setahun kita tidak bertemu,” ucapku lirih.
Kalau dihitung-hitung,
bulan depan adalah anniversary ke
empat kami – sendainya hingga detik ini kami masih bersama. Bibirku mengulum
senyum getir.
***
15 Februari 2012, 9:35 WIB
Aku memakai wedges dengan tergesa, lalu menyambar tas
vintage slempangku yang mungil.
Sebelum berangkat, kupatut sekali lagi penampilanku di depan cermin. Rok rampel tepat di atas lutut berwarna
merah hati dipadu kemeja putih tanpa lengan bermotif polkadot lucu. Rambut
panjangku ku ikat santai membentuk cepol – cukup tinggi hingga memperlihatkan
batang leherku yang putih dan jenjang. Aku mengulas senyum.
Dua hari yang lalu Aldi
meneleponku, memintaku datang ke cafe favorit kami, tepat di anniversary ketiga kami – hari ini.
Sepertinya dia ingin membuat kejutan. Biasanya, dia selalu menjemputku. Tapi
tidak kali ini.
Di perjalanan, aku bertanya-tanya
dengan kejutan Al kali ini. Mengingat bahwa hampir seminggu ini kami bertengkar
cukup hebat – entah pertengkaran kami yang ke berapa selama tiga tahun ini,
agak aneh rasanya jika tiba-tiba dia mengundangku bertemu. Tapi, syukurlah jika
memang perasaannya sudah baikan.
Setelah membayar taksi,
aku segera memasuki cafe, mencari-cari sosok Al. Ku lihat dia sudah duduk di
meja di salah satu sudut cafe – sudut favorit kami.
Tak jauh dari mejanya,
aku menyunggingkan senyumku. “Sudah dari tadi? Maaf membuatmu menunggu,” ucapku
sambil menarik kursi di hadapannya.
Al hanya tersenyum.
Beberapa detik kami berdua sama-sama membisu.
“Happy third anniversary, Mon,” ucapnya akhirnya.
Lagi-lagi aku
menyunggingkan senyumku.
“Ada yang ingin aku
katakan di hari yang bersejarah ini...”
“Hari yang spesial Al,
lebih tepatnya,” sahutku sambil nyengir.
Al hanya diam. Aku jadi
menerka-nerka. Ada apa sih dengan Al? Apa
dia masih akan membahas pertengkaran kami seminggu ini? Batinku gusar.
“Mon... Bagaimana jika kita
cukupkan tiga tahun saja,” ucapnya tenang.
“M-maksudmu?”
“Hubungan kita. Aku
capek. Terlalu sering kita bertengkar karena hal-hal sepele. Kita berbeda. Sudut
pandang kita, cara kita menatap hidup ini.”
“Aku tak mengerti,” aku
menanggapi. Nadaku meninggi setengah oktaf.
“Kita nggak pernah
sejalan. Dan kita sama-sama menyadari itu. Aku terlalu egois – seperti katamu
di tiap pertengkaran kita. Dan kamu terlalu cengeng. Ratap tangismu di setiap
pertengkaran kita membuatku frustasi, kalau kau tahu.”
“Tapi itu semata karena
aku tak ingin kehilanganmu, Al. Kau takkan pernah tahu betapa menyakitkannya
jika setiap bertengkar selalu diancam dengan kata-kata putus!” ucapku setengah
menjerit. Kurasakan mataku mulai memanas.
“Karena itulah. Aku tak
ingin menyakitimu lagi.. Terimakasih untuk
tiga tahun ini,” ucap Al sambil bangkit dari kursinya, lalu
meninggalkanku begitu saja.
Aku membeku di kursiku,
mendengar apa yang baru saja diucapkan Al.
“Apa-apaan semua ini?!”
desisku setengah tak percaya.
***
Dan itulah yang terjadi
hampir setahun yang lalu. Kami putus begitu saja. Aku masih tak mengerti
mengapa Al tega melakukan semua ini padaku. Aku memang cengeng, ku akui itu. Tapi,
aku kan hanya tak ingin kehilangan dirinya. Dan untuk keegoisan Al, itulah
kenyataannya. Dia terlalu mudah menyulut api pertengkaran hanya karena hal-hal
sepele. Dan itulah sebabnya mengapa aku menangis. Aku tersiksa dengan
gelagatnya yang mudah tersulut emosi itu. Tiap aku mengingatkannya, Al semakin
larut saja dengan emosinya. Dan puncaknya, dia mengeluarkan kata-kata
pamungkasnya: putus. Lantas harus bagaimanakah aku ini? Hanya bisa menangis. Aku
tak sanggup jika harus berbalik memarahinya habis-habisan. Aku terlalu
mencintainya, terlalu takut kehilangannya.
Aku baru akan melanjutkan
proposalku ketika tiba-tiba ada SMS dari nomor tak dikenal masuk ke inbox handphone-ku.
“Memang kau yang benar
aku yang salah.” Begitu kata pesan singkat itu.
Dan begitulah aku
menjalani hari-hariku menjelang tanggal 15 Februari di 2013 ini. Begitu banyak
pesan singkat dari nomor tak ku kenal.
“Aku memang egois. Tapi
kamu memang cengeng :)”
“Bodohnya aku yang
dahulu selalu meributkan masalah ini itu denganmu. Benar katamu. Aku memang childish :D Tapi itu dulu :p”
Siapa pengirim
pesan-pesan misterius itu? Al kah? Tapi, mungkinkah? Dan ternyata memang tidak
ada yang tidak mungkin. Karena baru saja nomor itu kembali mengirim pesan
singkat untukku.
“Mon, maukah kau
menemuiku yang dahulu telah menyakitimu ini, esok tanggal 15 Februari tepat
pukul 10 pagi di cafe favorit kita dahulu?”
Dan itu berarti lima
hari lagi. Al, kejutan apalagi yang akan kau
berikan?
***
Kucoba untuk
merampungkan skripsiku yang hampir selesai, sembari menunggu hari dimana kami
akan bertemu lagi setelah hampir satu tahun tak bertemu. Namun, pikiran dan
hatiku kini seolah teracuni. Pesan-pesannya membuat kepalaku pening.
“Kau telah
menyadarkanku, kau membuatku menemukan diriku yang sama sekali tak dewasa. Dan
sekarang, aku tengah berusaha mengubahnya.”
“Darimu aku belajar,
wanita yang rapuh namun tegar sepertimu, tak sepantasnya mendapati hujanan
emosi tak terkendali.”
“Hanya ingin kau tahu,
aku ingin memperbaiki kesalahan yang dulu sempat kubuat. Dan menggantinya
dengan kisah lain yang tak kalah indah :)”
Lihatlah. Pesan-pesannya
selalu manis dan bersahabat. Jika kami bersama-sama kembali, mungkinkah?
I
used to feel kinda lonely, cause the world it can be so fake. All that matters
I'm telling you, is you and me only. And the fortress from love we'd make..
***
15 Februari 2013, 10:07 WIB
Sepuluh menit sudah aku
duduk di sudut cafe ini, namun Al belum juga tampak. Hampir saja aku memanggil
pramusaji, ketika kulihat Al melangkah.
“Sudah dari tadi? Maaf
membuatmu menunggu,” ucap Al sambil menarik kursi di hadapanku, lalu duduk.
Senyum manisnya mengembang.
“Hey, itu kata-kataku
setahun yang lalu,” sahutku balas tersenyum.
Al terbahak. Aku
kembali tersenyum, sambil mengamati sosok di hadapku saat ini. Dia masih
seperti dahulu. Tetap tampan, manis, cool
dan cuek.
“Well, apa kabarmu, mantan kekasih?”
Kini, aku yang
terbahak. “Julukan yang manis. Aku baik Al, kamu?”
“Aku juga.”
Sesaat kami berdua
sama-sama diam. Tampak Al memanggil pramusaji, memesan dua gelas minuman untuk
kami.
“Mon, ada yang ingin
kuceritakan,” ucap Al memainkan kunci mobilnya.
Lagi-lagi kami
sama-sama diam. Beberapa menit berlalu begitu saja. Sesaat Al tampak menarik napas.
Saat minuman datang, dia memilih untuk menyesapnya terlebih dahulu sebelum
melanjutkan.
“Setelah kita berpisah,
aku menyesal. Aku terlalu egois, kekanakan dan terlalu tak peduli. Sikapmu yang
begitu tegar, tetap bertahan meski aku selalu mengancam dengan kata-kata putus
menyadarkanku. Kau wanita yang kuat.”
Aku hanya diam,
menunggu lanjutan ceritanya sambil menerka-nerka.
“Tak lama setelah kita
berpisah, aku mencari penggantimu. Sekadar ingin membuktikan, apakah semua yang
kau katakan itu benar adanya, bahwa diriku ini egois, dan semua julukan yang
kau berikan padaku itu,” ucapnya sambil tertawa.
“Ternyata dia, kekasih
baruku, membuktikan hal yang sama. Tahukah kau? Dia sungguh berbeda denganmu.
Kau telah menyadarkanku, tapi dia berhasil mengubahku. Dia tak cengeng
sepertimu, Mon,” ucapnya sambil lagi-lagi tertawa.
“Dia teramat keras. Dia
berhasil mengikis sikap egois dan kekanakanku. Dan aku dibuatnya jatuh cinta.
Apa kau tak melihat Mon, aku sudah jauh lebih dewasa saat ini?” ucapnya sambil
tertawa terbahak, mengangkat sebelah alisnya.
Dan aku pun balas terbahak.
Ya. Kau terlihat jauh lebih matang, Al. Dan kau sempat membuatku salah paham. Nyatanya
saat ini kau sudah punya kekasih, dan bahkan teramat mencintainya. Batinku
murung.
“Lalu, apa tujuanmu
mengundangku kemari, Al?” tanyaku.
Dia mengambil sesuatu
dari tas. Selembar kertas berwarna merah hati.
“Aku ingin kau jadi
orang pertama yang menerima ini,” Al mengangsurkan kertas berbungkus plastik
bening itu kepadaku.
Kubaca tulisan yang
tercetak di atasnya. The Engagement. “Wow.
Aku tak menyangka akan secepat ini kau mengambil langkah. Ngomong-ngomong,
siapa wanita beruntung itu?” Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak.
“Nathania Geovany,” aku
mengeja nama yang tercetak di kertas itu. “Astaga, aku sungguh tak percaya. Selamat,
Al,” ucapku.
“Terimakasih. Aku juga
ingin mengucapkan selamat. Untuk kita. HFA.”
“HFA?” aku tak
mengerti.
“Happy Failed Anniversary,” jawabnya, lalu tertawa.
Sesaat aku tertegun.
“Ya ya, Happy Failed Anniversary
untuk kita, mantan kekasih,” kataku mengulang jawabannya sambil mengangkat
sebelah alis.
Lagi-lagi Al terbahak.
“Well, kalau sudah tak ada lagi yang dibicarakan, aku pamit dulu,
Al. Aku masih harus menemui dosen pembimbingku siang ini. Sampai jumpa di
pertunanganmu,” ucapku sambil memasukkan undangan darinya ke dalam tasku.
Al hanya mengangguk dan
tersenyum. Aku balas senyumnya, lalu beranjak. Ku biarkan minumanku tetap utuh
tak tersentuh. Saat aku mulai berpaling dan melangkah memunggunginya, tiba-tiba
saja mataku terasa panas.
Through the shake of an earthquake,
I will never fall. That's how strong my love is...
Kau berhasil menjadi
lelaki yang lebih baik, Al. Namun sayang, bukan diriku wanita yang mampu
mengubahmu itu.
Kau
memang telah menyadarkanku, tapi dia berhasil mengubahku.
Saat aku memejamkan mata, kalimat Al bergema di ruang hatiku.
***