Cerpen ini dibuat pada hari sabtu tanggal 23 November 2013 puku 13.00
sampai 16.00 di gedung asrama #KampusFiksi DIVAPress. Yup, cerpen ini adalah
tantangan yang diberi oleh mbak-mbak editor DIVA, untuk mengukur sejauh mana
kemampuan kami setelah seharian mendapatkan cekokan materi yang begitu
banyak. Dan aku kedapatan tema: Aku memilih diam.
Jadi, inilah cerpenku. Dan, o ya. Sekadar info aja, nih, cerpen ini adalah salah satu dari dua cerpen yang terpilih, yang dijadikan contoh oleh DIVA kepada 30 peserta yang lain, lho! :D Ini contoh hancurnya, mungkin--mengingat Pak Edi sempat bilang, bahwa untuk #KampusFiksi angakatan lima [angkatan kami], cerpen kami sungguh mengecewakan. Aaaaa tidaakkk >,<
Jadi, inilah cerpenku. Dan, o ya. Sekadar info aja, nih, cerpen ini adalah salah satu dari dua cerpen yang terpilih, yang dijadikan contoh oleh DIVA kepada 30 peserta yang lain, lho! :D Ini contoh hancurnya, mungkin--mengingat Pak Edi sempat bilang, bahwa untuk #KampusFiksi angakatan lima [angkatan kami], cerpen kami sungguh mengecewakan. Aaaaa tidaakkk >,<
Cerpen ini tadinya aku beri judul Kurnia Ibu. Tapi karena kata Pak Edi
judulnya kayak tulisan di badan truk [aku baru sadar ._.] aku ganti aja deh ya.
Tak ada satu kata pun yang aku tambah, kecuali judul dan pembenaran beberapa
tanda baca. Selamat membaca.
Positif
“Nia pergi dulu, Bu,”
pamit Nia kepada ibunya yang tengah menyetrika di ruang berukuran dua kali tiga
meter itu.
“Mau ke mana kamu?!
Setiap malam selalu keluyuran! Ibu nguliahin kamu biar kamu pinter, terus kerja, bisa
ngasih duit buat Ibu! Bukan malah keluyuran tiap malam dan malu-maluin Ibu
karena selalu jadi omongan tetangga seperti ini! Jangan meniru mbakyu-mu,
Nia! Ibu capek-capek nguliahin, tapi apa yang dia kasih?!” gelegar ibunya
sambil mengacung-acungkan setrika ke udara.
Nia melesat tanpa
mempedulikan kalimat sang ibu yang belum selesai. Nia sudah bosan. Bosan dengan
ibunya yang selalu memaki-maki Sinta―kakak perempuannya, karena setelah kuliah
bukannya bekerja namun malah memilih untuk langsung menikah. Bosan dengan
ibunya yang selalu mencerocos semau pikirnya, bahwa pasti menantunya mengidap penyakit
tertentu karena sampai tiga tahun usia pernikahan kakaknya tak jua
mengaruniainya seorang cucu.
“Tapi Ibu juga pengin
nimang cucu kayak ibu-ibu tetangga yang lain,” begitu kilah ibunya tiap kali Nia
memprotes ocehan prasangka ibunya yang berulang.
Nia benar-benar capek.
Malam itu pukul delapan.
Begitu Nia membuka pintu depan, cowok berkendara Suzuki Satria lawas sudah menunggu di depan pagar rumah.
Setelah Nia menghempaskan pantatnya ke sadel belakang dan membenarkan rok hitamnya
yang hanya lima senti di atas lutut, dengan sekali hentak di stang gas, motor dua tak itu meluncur membelah malam, meninggalkan deru berisik yang menyayat
telinga serta kepulan asap putih yang
memedihkan mata.
***
Tempat itu tampak sepi dan lengang.
Lampu-lampu dengan cahaya menyilaukan mata tetap berpijar di langit-langit,
meski hanya beberapa gelintir manusia yang ada di bawahnya.
Nia menguap sebentar,
sambil membenahi benda-benda yang berantakan di sekitarnya. Tak jauh darinya,
tampak lelaki yang setiap malam menjemputnya melakukan hal yang sama.
“Kamu kelihatan capek
banget, Nia,” ucap cowok itu sambil mengusap lembut rambut Nia.
Nia hanya mengangguk lemah
sambil menempelkan telapak tangannya ke mulut, menguap.
“Pelanggan hari ini
lumayan banyak, ya?”
“Iya. Biasa, malam
minggu,” tanggap Nia.
“Mau pulang sekarang?
Lagian, setelah bayaran jam satu tadi kita sudah boleh pulang, kan.”
“Sekarang jam berapa?” Nia
balik melempar tanya.
“Jam dua, lebih
sedikit.”
Menit berikutnya, Nia sudah
duduk di sadel belakang motor cowok itu.
“Berhenti,” ujar Nia setelah
hampir lima belas menit angin malam membelai kaki jenjangnya yang berbalut
stoking.
“Tapi rumahmu masih dua
puluh meter lagi. Kamu capek banget, ya, sampai-sampai meminta berhenti di
depan rumah kakakmu?” tanya lelaki itu resah.
“Tadi mbak Sinta
menelepon. Ingin menitipkan sesuatu untuk Ibu. Walaupun dekat, tapi... Kamu tahu, kan, bagaimana ibu,” terang Nia.
Cowok itu menurut dan
berhenti. Membiarkan Nia mengetuk pintu rumah kecil tak berpagar itu. Semenit
selanjutnya, tampak seorang wanita dengan rambut panjang tergerai berantakan
membuka pintu. Beberapa detik berikutnya, pintu kembali tertutup dan Nia melangkah
menjauh.
“Sudah?”
Nia mengangguk.
“Aku tak melihat kamu
membawa sesuatu,” ujar cowok itu.
Nia memilih tak
menjawab. Hingga cowok itu menurunkannya di depan pagar rumah dan melesat
meninggalkan deru berisik dan kepulan asap.
***
“Nia! Bangun kamu!” ibu
berteriak sambil menggoyang-goyangkan tubuh Nia yang masih berbalut rok pendek
dan stoking hitam.
“Nia!! Ada yang harus
kau jelaskan pada ibu!” bentak ibunya lebih kencang.
Nia melenguh pelan,
sebelum akhirnya menggeliat dan duduk di kasurnya.
“Ada apa, Bu?” tanyanya
dengan suara pelan.
Nia menatap ke bingkai
jendela yang sudah terbuka. Sinar
matahari yang panas menelusup di balik tirai. Nia mengira-ngira, pastilah
sekarang sudah lebih dari pukul delapan.
“Apa yang ada di
tasmu?! Apa maksudnya?! Kamu harus menjelaskannya, Nia!”
Nia meraih tas yang
semalam dibawanya, dan menengok isinya. Kosong.
“Apa maksud semua ini,
Nia?! Jadi ini kegiatanmu selama ini?! Kamu menjual dirimu, hah?!” ibu
berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan amplop coklat yang tebal dan...
“Kamu hamil, hah!?”
sebuah testpack meluncur dari tangan sang ibu, berpindah ke pangkuan Nia.
Sambil mendengus, Nia menyahut,
“Nia masih capek, Bu. Kalau Ibu mau membahas ini, tunggu nanti malam setelah Nia
pulang kuliah.”
“Kamu bilang tunggu
nanti malam?! Kamu mau Ibu menceritakan kepada tetangga dahulu?! Begitu?!”
Nia meraih rambutnya
yang tergerai dengan kedua tangannya. Mengangkatnya tinggi, memperlihatkan batang
lehernya yang jenjang, sebelum akhirnya mengikat rambut itu. Dengan tak acuh
Nia melangkah ke kamar mandi.
Usai Nia membersihkan
diri dan mengganti kostumnya dengan kaos pendek dan celana jins, ibunya masih
berada di kamarnya. Kali ini sambil terduduk. Dengan bahu yang berguncang naik
turun perlahan. Juga air yang meluncur tanpa malu dari kelopak matanya.
Nia tak peduli. Setelah
menyapukan bedak dan segaris lipgloss, Nia meraih tasnya dan melangkah.
“Nia kuliah dulu.”
Sang ibu tak menyahut,
apalagi mengikuti langkah Nia dan mengantarnya sampai depan pintu. Sesuatu yang
tak pernah dilakukannya.
Sepuluh menit
berikutnya, wanita itu masih sibuk meratap. Sampai akhirnya suara ketukan di pintu
terdengar.
“Ibu, apa kabar?”
seorang wanita berambut panjang menyapa tulus.
Wanita hampir setengah abad itu hanya menatap nanar
sosok di ambang pintu itu.
“Jadi, apakah Kurnia
sudah cerita, Bu? Apa Ibu senang?” tanya wanita itu lagi.
Ibu masih membeku
dengan air mata yang mengalir.
“Ibu akan punya cucu.
Ibu pasti senang, kan? Tadi pagi buta Nia mampir ke rumah, kutitipi sesuatu
untuk Ibu. Kami menduga pasti Ibu akan terkejut. Dan benar saja, Ibu saat ini
menangis. Itu air mata bahagia, kan?”
Sunyi. Senyap. Hanya
suara helaan napas sang ibu yang berat terdengar.
“Ibu jangan membenci
kami lagi. Sekarang aku hamil, Bu. Tuduhan ibu pada kami selama ini sama sekali
tidak benar. Kami akan punya anak.”
Suara wanita berambut
panjang itu kini bergetar. Pun jua bibirnya. Dari pelupuk matanya, membanjir air
mata.
“Kurnia adik yang
hebat. Bahkan dia mampu membagi waktunya untuk kuliah dan bekerja di minimarket
di pinggir kota. Itu, kan, yang Ibu mau? Bekerja? Dia berbeda dariku, Bu. Ibu
jangan pernah membentak dan memarahinya lagi. Jangan, Bu. Dia tak sepertiku,”
suara wanita itu berubah menjadi rintihan.
Hening. Bahkan tiga
menit kemudian, tak ada yang terucap dari bibir dua wanita itu. Hanya air mata serta tangis sesenggukan yang bersahutan.
***
Tamaaaat! :D
Yah, baru bisa sampai sebatas itu, sih :3 Kritik saran boleh lhoo :)