Keindahanmu tak pernah dapat terlukiskan
Kecantikanmu menakjubkan hati
Ketulusanmu mengalir sebening kasihmu
Setiamu menguatkan aku
Kau begitu berarti
Sungguh sangat berarti
Kesempurnaan cinta
Kau beri
Aku menyayangimu
Dalam senyum dan tangisku
Dan aku mencintaimu
Dalam hidup dan matiku
Kau begitu berarti
Sungguh sangat berarti
Kesempurnaan cinta
Kau beri
Aku menyayangimu
Dalam senyum dan tangisku
Dan aku mencintaimu
Dalam hidup dan matiku
Aku menyayangimu
Dalam senyum dan tangisku
Dan aku mencintaimu
Dalam hidup dan matiku
Aku menyayangimu
Dalam senyum dan tangisku
Dan aku mencintaimu
Dalam hidup dan matiku
Dalam hidup dan matiku
Jumat, 30 Desember 2011
Minggu, 18 Desember 2011
Enam Jam
Diawali dengan pagi yang tak begitu mengenakkan. Ya. Kesurutan dalam hubungan itu sesuatu yang biasa bukan? Dan karena dia bilang hubungan dekat yang penuh pasang surut itu menghasilkan ikatan batin yang kuat, maka pagi ini aku ingin mengubah surut itu menjadi pasang.
Pukul setengah sebelas dari rumah, kugeber motorku menuju jalan samas pentok selatan sana. Pertigaan lapangan kanan jalan belok kanan, pertigaan masjid kanan jalan belok kanan, perempatan pertama belok kiri. Lewat 1 lagi perempatan, dan stop. Kanan jalan. Sampailah aku di rumah itu, beberapa detik menunggu dan kudapati si tuan keluar, dengan gayanya yang dingin dan menyebalkan itu. Huft.
Pergilah kami, menuju pantai Depok yang beberapa hari lalu sempat kami janjikan - sebelum kesurutan ini terjadi tentu saja. Sepanjang jalan tak ada kata, hanya diam dan diam. Bahkan sesampai di sana pun, kami masih tetap menikmati kebisuan yang sama sekali tak nikmat itu. Huft, rasanya tak tahan aku.
Berjalan menghampiri ombak, diam berdiri berdua bersisian. Sesekali ku tatap mata indahnya, tanpa kata. Dan dia pun masih tetap sama. Diam dan dingin. "Jalan ke mana?" tiga kata meluncur memecah kebisuan kami. "Terserah." Dan kami melangkah menyusuri bibir pantai. Lagi-lagi diam. Sungguh, tak tahan aku dengan kebisuannya. Entah kenapa mataku terasa pedas dan pandanganku sedikit mengabur. Dan kuraih telapak tangannya, ku genggam erat, pasti. Kupejamkan mataku dan dadaku tiba-tiba terasa sangat sesak. Beruntung, dia membalas genggaman tanganku.
"Beli ikan yok?" katanya membuka percakapan, menghampiri kapal nelayan yang baru saja pulang melaut, sambil tetap menggenggam tanganku. Aku dengar suaranya agak berat, sepertinya menahan tangis - eh?. "Nggak usah ah," jawabku - kok kedenger kayak mau nangis juga sih.
Kami duduk di bibir pantai. Diam. Sesekali memainkan pasir, sesekali melihat ke laut lepas. Mengamati orang-orang yang tengah asik. Sebelum akhirnya terdengar suara bising dari atas sana - pesawat paralayang. Dan obrolan pun keluar begitu saja. Syukurlah, kebisuan ini terpecah sudah. Lega.
Dan selanjutnya semua berjalan dengan indah. Aku bisa kembali menikmati tawanya yang renyah, senyum serta tatap matanya yang indah. Terimakasih Tuhan :)
Kami bicara tentang ombak, tentang laut, tentang langit, tentang ikan, nelayan, penjual makanan di sana, tentang semua. Mentertawakan kelucuan yang terjadi di depan sana, indah rasanya. Akhirnya kami kembali melangkah, membeli beberapa pengganjal perut. Siomay, tempura, dan es kelapa muda yang kesemuanya lumayan dinaikin harganya dan nggak begitu enak. Sesekali ku curi gambar sekitar. Tapi dia tahu niatku dan tak mau. Pelit ah.
Setelah puas menikmati pantai yang kebetulan tadi nggak panas sama sekali - cuaca sedang berbaik hati :D - kami pulang. Bukan dink. Berputar-putar sebentar menyusuri jalan Parangtritis, -mampir sebentar di barisan pepohonan di Ganjuran - jalan Bantul, jalan Srandakan, sebelum akhirnya terpaksa pulang karena dikejar hujan. Sampai di rumahnya pukul 4. Dan ku niatkan singgah sebentar sampai pukul lima, ingin menikmati hujan di rumahnya - belum pernah sih. Dan kegiatan menyenangkan itu diakhiri dengan jam lima tepat aku pulang. Di antar sampai depan pintu oleh ibunya dan si dia, dengan penampilanku yang seperti orang-orangan di sawah - pakai mantol hohoho.
Sekali lagi kugeber motorku, kali ini agak pelan - angin yang lumayan kencang dengan kostumku kayak orang-orangan sawah membuat laju motorku tak begitu seimbang. Mantol melembung - serasa mau ikut terbang terbawa angin! Di perjalanan dipermainkan hujan yang turun reda turun reda. Seruu, sampai di rumah mandi, sholat magrib, lalu asyik online sambil menulis postingan ini :D. Enam jam yang mendebarkan bersamamu :*
PS: Jangan surutkan lagi ya, atau kita akan nikmati kekeringan yang kita tahu sama sekali tak nikmat. Love U ;)
Pukul setengah sebelas dari rumah, kugeber motorku menuju jalan samas pentok selatan sana. Pertigaan lapangan kanan jalan belok kanan, pertigaan masjid kanan jalan belok kanan, perempatan pertama belok kiri. Lewat 1 lagi perempatan, dan stop. Kanan jalan. Sampailah aku di rumah itu, beberapa detik menunggu dan kudapati si tuan keluar, dengan gayanya yang dingin dan menyebalkan itu. Huft.
Pergilah kami, menuju pantai Depok yang beberapa hari lalu sempat kami janjikan - sebelum kesurutan ini terjadi tentu saja. Sepanjang jalan tak ada kata, hanya diam dan diam. Bahkan sesampai di sana pun, kami masih tetap menikmati kebisuan yang sama sekali tak nikmat itu. Huft, rasanya tak tahan aku.
Berjalan menghampiri ombak, diam berdiri berdua bersisian. Sesekali ku tatap mata indahnya, tanpa kata. Dan dia pun masih tetap sama. Diam dan dingin. "Jalan ke mana?" tiga kata meluncur memecah kebisuan kami. "Terserah." Dan kami melangkah menyusuri bibir pantai. Lagi-lagi diam. Sungguh, tak tahan aku dengan kebisuannya. Entah kenapa mataku terasa pedas dan pandanganku sedikit mengabur. Dan kuraih telapak tangannya, ku genggam erat, pasti. Kupejamkan mataku dan dadaku tiba-tiba terasa sangat sesak. Beruntung, dia membalas genggaman tanganku.
"Beli ikan yok?" katanya membuka percakapan, menghampiri kapal nelayan yang baru saja pulang melaut, sambil tetap menggenggam tanganku. Aku dengar suaranya agak berat, sepertinya menahan tangis - eh?. "Nggak usah ah," jawabku - kok kedenger kayak mau nangis juga sih.
Kami duduk di bibir pantai. Diam. Sesekali memainkan pasir, sesekali melihat ke laut lepas. Mengamati orang-orang yang tengah asik. Sebelum akhirnya terdengar suara bising dari atas sana - pesawat paralayang. Dan obrolan pun keluar begitu saja. Syukurlah, kebisuan ini terpecah sudah. Lega.
Dan selanjutnya semua berjalan dengan indah. Aku bisa kembali menikmati tawanya yang renyah, senyum serta tatap matanya yang indah. Terimakasih Tuhan :)
Kami bicara tentang ombak, tentang laut, tentang langit, tentang ikan, nelayan, penjual makanan di sana, tentang semua. Mentertawakan kelucuan yang terjadi di depan sana, indah rasanya. Akhirnya kami kembali melangkah, membeli beberapa pengganjal perut. Siomay, tempura, dan es kelapa muda yang kesemuanya lumayan dinaikin harganya dan nggak begitu enak. Sesekali ku curi gambar sekitar. Tapi dia tahu niatku dan tak mau. Pelit ah.
Setelah puas menikmati pantai yang kebetulan tadi nggak panas sama sekali - cuaca sedang berbaik hati :D - kami pulang. Bukan dink. Berputar-putar sebentar menyusuri jalan Parangtritis, -mampir sebentar di barisan pepohonan di Ganjuran - jalan Bantul, jalan Srandakan, sebelum akhirnya terpaksa pulang karena dikejar hujan. Sampai di rumahnya pukul 4. Dan ku niatkan singgah sebentar sampai pukul lima, ingin menikmati hujan di rumahnya - belum pernah sih. Dan kegiatan menyenangkan itu diakhiri dengan jam lima tepat aku pulang. Di antar sampai depan pintu oleh ibunya dan si dia, dengan penampilanku yang seperti orang-orangan di sawah - pakai mantol hohoho.
Sekali lagi kugeber motorku, kali ini agak pelan - angin yang lumayan kencang dengan kostumku kayak orang-orangan sawah membuat laju motorku tak begitu seimbang. Mantol melembung - serasa mau ikut terbang terbawa angin! Di perjalanan dipermainkan hujan yang turun reda turun reda. Seruu, sampai di rumah mandi, sholat magrib, lalu asyik online sambil menulis postingan ini :D. Enam jam yang mendebarkan bersamamu :*
PS: Jangan surutkan lagi ya, atau kita akan nikmati kekeringan yang kita tahu sama sekali tak nikmat. Love U ;)
Langganan:
Postingan (Atom)